7. Masa Lalu Awan dan Bianca

1.7K 340 33
                                    

Hai, selamat membaca <3

***

Kontrak kerjaku dengan Adrian masih sampai enam bulan ke depan. Namun, baru juga sebulan, aku merasa sudah sangat dekat dengannya. Adrian orang yang asyik, seru, penuh kejutan, tetapi saat serius, dia terlihat seperti ini.

Sejak tadi aku mengamatinya menggaruk-garuk kepala, mengetik sebentar di laptop, kemudian menekan tuts backspace dengan kekuatan yang bisa membuat kibor itu bolong.

"Kenapa, sih?" tanyaku. Aku cukup terganggu juga dengan desahan dan gerutuannya.

"Sorry. Saya cuma buntu karena nggak bisa nulis apa-apa di tesis. Begini ya susahnya ngerjain bisnis sama kuliah bersamaan. Saya malah kepikiran kantor terus," kata Adrian disusul tawa kecil. Akhirnya ada ekspresi yang agak cerah, tidak sepahit kopi latte panas di depanku ini.

Aku jadi teringat Awan saat dia sibuk skripsian sambil kerja. Setelah diterima bekerja sebagai pramukantor sesaat sebelum kami menikah, aku memang meminta Awan untuk kembali kuliah. Gajinya sebagai OB dihabiskan untuk bayar kuliah, sementara sisa tabunganku dari hasil kerja dipakai untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Saat itu dia seperti robot. Senin sampai Jumat bekerja, Sabtu Minggu kuliah. Di tahun ketiga, dia mengambil program paralel dengan pascasarjana.

"Av, aku pusiiiing." Awan menjerit sambil menjambak rambutnya sendiri.

Saat itu tenggat waktu pengumpulan skripsi ke dosen pembimbing tinggal menghitung jam, tetapi dia belum menyelesaikannya. Akhirnya, kami berdua begadang semalaman. Besok paginya Nayla dititipkan ke mertuaku dan kami tidur seharian.

Aku mengenyahkan kenangan yang seenaknya melintas itu. "Apa saya ganggu? Saya bisa pindah meja kalau kamu butuh—" Aku sudah bangkit untuk beranjak ke meja yang agak jauh dari Adrian.

"Nope! Nanti saya makin suntuk kalau sendirian. Nggak apa-apa di sini aja. Kecuali kalau Mbak Avie memang ada keperluan dan harus pergi dari sini."

"Enggak sih, Nayla baru aja masuk sekolah dan aku nggak ada kerjaan di rumah. Jadi, niatnya saya mau menyelesaikan laporan keuangan perusahaan kamu di sini." Aku kembali mengempaskan bokongku ke sofa. Kafe ini memang nyaman untuk bekerja, apalagi di jam-jam baru buka seperti ini. Masih sepi pengunjung.

"Emangnya nggak dag-dig-dug?"

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Ngerjain laporan di depan saya?"

"So?"

"Saya kan bosnya. Emang nggak gugup? Atau ... emang nggak gugup kerja di depan cowok tampan kayak saya?" Adrian menambahkan cengiran di akhir kalimat tanyanya.

Tadi memang aku biasa saja, tidak deg-degan sama sekali. Namun, setelah Adrian bertanya begitu, kok aku jadi deg-degan beneran? Ada desir aneh di dadaku, seperti sedang meluncur turun saat naik roller coaster.

"Mana ada!" Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan melempar tisu ke arahnya.

"Ngomong-ngomong, suami Mbak Avie ternyata ganteng ya. Pantes, sih, Mbak Avie nggak deg-degan di depan saya. Sudah biasa melihat pemandangan yang lebih indah setiap hari, setiap bangun pagi, dan setiap akan tidur malam."

"Saya baru tahu kalau ada cowok yang mengagumi tampang cowok lain."

Adrian menyesap americano-nya sebelum melanjutkan bicara. Laptopnya sudah dia tutup, sepertinya benar-benar buntu.

"Nggak hanya tampang. Saya rasa, suami Mbak Avie ... maaf saya agak lupa namanya."

"Awan."

"Ya, Awan. Pak Awan ini kayaknya punya jabatan tinggi di kantor ya? Kelihatan kalau penampilannya keren, berkelas. Setelannya aja bermerek," puji Adrian. Dia sungguhan memuji Awan, atau hanya ingin melihat reaksiku?

Sorry, Thank You, and Fall In Love Again (Wattys Winner 2022)Where stories live. Discover now