4. Sosok Awan yang Dulu

2K 375 29
                                    

Genggamanku pada ponsel hampir terlepas. Tiba-tiba Awan sudah duduk di kursi bar di dapur kami. Dia masih mengenakan sarung dan kopiah.

"Nggak apa-apa. Ada yang lucu di instagram," kilahku. Senyuman langsung hilang dari bibirku.

"Jadi belum order?"

"Udah, kok. Tapi masih cari driver."

Buru-buru aku membuka Go-Jek dan bersikap sesantai mungkin di depan Awan. Aku hampir tidak pernah berbohong kepada Awan. Jadi, berbohong adalah hal tersulit. Semoga saja dia tidak menyadarinya. Kalaupun sadar, semoga tidak bertanya macam-macam.

Awan mengangguk-angguk. Kemudian, dia kembali berkumpul dengan Nayla dan Ibu. Aku pun kembali membuka WhatsApp.

Good luck. Semoga malam ini tidak mimpi indah.

Aku membalas begitu kepada Adrian.

Nggak perlu malam ini mimpi indah. Tadi pagi sampai siang udah ketemu yang indah-indah.

Padahal, mungkin maksud dia bertemu bunga, atau apa pun yang indah. Tetapi rasanya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak GR.

Aku pikir, bekerja dengan orang yang usianya terpaut jauh di bawahku akan aman-aman saja. Tapi, kelelahan menjalani rumah tangga dengan Awan yang selalu dingin hampir tiga tahun belakangan ini, membuat hatiku hangat kembali karena kehadiran Adrian.

Aku tahu ini salah. Dan hubunganku dengan Adrian berpotensi ke arah yang lebih dari sekadar rekan kerja. Seharusnya aku menghentikan itu sekarang juga. Bersikap profesional hanya sebagai konsultan keuangan perusahaan Adrian.

Kalau saja, hubungan pernikahanku dengan Awan masih hangat seperti dulu.

***

Awan baru saja mandi, ritual seperti biasa sebelum tidur. Aku bisa merasakan sisi lain kasur tertekan oleh berat tubuhnya. Kemudian, pria itu mendekat kepadaku yang berbaring membelakanginya. Tiba-tiba saja, deru napasnya terdengar di telingaku.

"Sudah tidur, Av?" tanyanya dengan nada seduksi. "Xaviera ...."

Aku mengenal kebiasaannya ketika dia sudah memanggil nama lengkapku di situasi seperti ini.

Ingin aku berteriak, Eijaz Hermawan! Aku tidak lagi menginginkan ini! Tidak lagi menginginkan dirimu! Sadarkah kamu mengapa aku menjadi seperti ini?!

Aku hanya menjadi serupa boneka dengan kedua tangan terkepal di samping tubuh sampai Awan selesai dengan urusannya. Mataku terpejam, tetapi mengapa malah wajah Adrian yang terbayang? 

Awan menjatuhkan dirinya di sampingku dengan terengah-engah. Aku tahu, dia pasti kecewa karena selama tiga tahun ini, aku selalu melayaninya dengan dingin. Kalau begitu, kenapa Awan tidak menyerah saja? Jajan di luar dengan wanita yang bisa memberikan kehangatan kepadanya? Atau dengan Bianca yang jelas-jelas mengharapkannya?

"Terima kasih, Av," bisiknya lirih.

Bukan terima kasih yang ingin kudengar, Awan. Kata sihir lainnya selain terima kasih yang ingin kudengar sejak tiga tahun lalu.

Mengapa pula kamu mengucapkan terima kasih padahal aku tidak memberimu kasih?

Dengkuran halus Awan mulai terdengar. Sementara aku terisak dengan sesak di bawah selimut.

***

Eijaz Hermawan. Ternyata itu namanya. Pantas, namanya kearab-araban, wajahnya juga kearab-araban.

Sorry, Thank You, and Fall In Love Again (Wattys Winner 2022)Onde histórias criam vida. Descubra agora