03. Bumi Megantara

187 61 240
                                    


Happy reading 🖤

.

"Sudah tau pinnya, kan?"

Kalimat yang begitu lembut lolos dari bibir keriput wanita bersanggul dengan tahi lalat di ujung dagunya. Menepuk pundak remaja lelaki di sisinya, sebuah tas ransel diletakkan di samping kaki.

"Makasih, Bu," ucap si remaja sopan.

Bu Sisi, Ibu asrama SMA Damara membalas senyuman hangat keibuannya. "Pasti susah, ya? Nak Bumi gak pernah tinggal di asrama sebelumnya, kan?" imbuh wanita tua dikisaran umur 60-an itu.

Remaja yang ditanya, Bumi, mengangguk lagi untuk menjawab. Meskipun setelahnya ia menggeleng lemah. "Nggak masalah, Bu," sahutnya tulus.

"Tetep aja. Padahal program asrama gak wajib, loh. Kalau Nak Bumi gak betah, di rumah aja--"

"Serius Bu, saya emang niat masuk asrama Damara dari dulu. Itung-itung, Bumi sekalian sosialisasi selama 4 bulan di sini."

"Eh, anak baru?" serobot seorang pemuda memakai kaos oblong hitam dengan kantong kresek di tangannya, dengan senyuman lebar dan mata berbinar, pemuda itu menempatkan diri di antara Bu Sisi dan Bumi. Benar-benar di tengah-tengah.

Bumi dengan rambut ikalnya masih menyematkan senyum simpul pada ujung bibir, tak tahu, mengapa Bu Sisi justru memutar bola matanya seraya berdecak.

"Kamu loh, Zan, jangan keseringan minum soda, gak baik buat kesehatan!" seru wanita tua itu, menepuk bahu lelaki bernama Fauzan sampai berbunyi, Bumi di sisi yang lain menggaruk pelipisnya menahan tawa.

"Ini terakhir, Buuuu... janji, abis ini gak, hehe," sahut si tersangka  cengengesan, tanpa aba-aba berlari ngacir membuka pintu abu-abu di depannya.

Bu Sisi kali ini menghela napas seraya mengelus dada. Meski harus mengatasi ratusan anak dari dua asrama, beliau sangat sabar bahkan bisa mengingat jelas pribadi masing-masing murid yang sudah ia anggap anak sendiri di Damara.

Mungkin alasan terkuatnya, karena operasi pengangkatan rahim yang ia lakukan 35 tahun silam, membuat dirinya sudah tak bisa mempunyai keturunan.

"Maaf ya... itu tadi Fauzan, dia temen sekamar kamu. Dia baik kok," ujar Bu Sisi, kembali menepuk bahu Bumi diiringi mengetuk pintu kamar dengan kertas persegi bertuliskan "Kandang bujang" yang baru saja Fauzan masuki.

Tak berselang lama, sosok remaja sebelumnya kembali muncul, sudah terbalut jaket army meski masih mengenakan celana boxer bermotif polkadot. Ia tersenyum lebar. "Selamat datang di kamar keramat nomor 25 yang berisi para keturunan Dewa Ares. Silakan perkenalkan nama anda terlebih dahulu. Sila isi..."

Bu Sisi yang sudah hafal akan mendapat hal gila seperti ini tanpa basa-basi langsung menerobos masuk menggandeng Bumi, sedikit menabrak bahu Fauzan yang menghalangi ambang pintu. Lelaki yang tadi bertingkah seolah pramugara itu justru terkekeh sendiri seraya menyugar rambut.

Bumi hanya bisa membatin, semoga ia berada di tempat yang benar.

Pemandangan pertama Bumi sebagai siswa pertukaran... sebuah kasur dua tingkat berjumlah empat ranjang di sisi kanan dan kiri. Satu sofa di tengah, sementara meja belajar untuk masing-masing penghuni ada di belakang pintu.

Class Is OverWhere stories live. Discover now