07. Deep Talk

148 53 132
                                    


Happy reading 🖤

.

Semilir angin tengah malam berhasil membelai rambut sebahu Kalula menerbangkan helaian birunya menabrak pipi. Gadis itu mengencangkan cardigan, memilih menoleh ke arah jalanan sepanjang ia duduk di dalam mobil ber-AC milik Gibran.

"Gue tutup kacanya, ya? Dingin," ucap pelan lelaki di kursi sopir, sayangnya tak mendapat jawaban apa pun dari yang dituju.

Perlahan, akhirnya kaca pintu di sisi Kalula menutup hati-hati. Sedikit membuat decakan lirih lolos dari bibir pink nya, gadis itu kemudian menyandarkan tubuh sesekali terpejam dengan earphone yang terpasang di telinga.

"La..."

"Gib, anter gue ke rumah Nirina aja," potong Kalula, membuat lelaki yang setengah membuka mulut itu kembali terkatup.

Gibran mengangguk-angguk seraya memutar setir ke arah kanan. "Tante Nirina di rumah?" tanyanya. Dan jawaban Kalula, "hmm."

"Soal tadi--"

Lagi-lagi kalimat Gibran berhasil Kalula sela meski dalam nada lemah setengah mengantuk dari gadis tersebut.

"Fokus nyetir aja. Jangan bahas apa pun. Termasuk apa yang gue lakuin hari ini," ujar Lula dengan mata terpejamnya.

Gibran menghela napas kasar membuang pandangannya ke arah samping, meski dalam batinnya berkecamuk emosi mengapa ia diabaikan akhir-akhir ini. Ia tahu, mungkin karena ulahnya sendiri yang kebablasan bertindak pada Kalula malam itu, membuat gadis yang mungkin setengah tidur di sisinya agak menjaga jarak.

"Ah, buat yang waktu itu... gak usah dibahas," kata Kalula pelan.

Refleks dari Gibran juga memelankan laju kendaraannya meski jalanan terbilang sepi pukul satu dini hari ini. Jelas, ia tahu ke mana maksud ucapan Kalula ditujukan.

Mereka sudah bersahabat 10 tahun lamanya. Bahkan hanya dari kedipan mata saja, keduanya paham apa yang ingin disampaikan satu sama lain. Dan mungkin, gadis itu juga menyadari, apa yang tengah Gibran pikirkan sedari tadi.

"Karena sampai kapan pun, gue gak akan nyakitin Emily."

Namun satu yang kadang Gibran rasa tak adil atas hubungan 10 tahun mereka. Bahwasanya, hanya ia seorang yang tak boleh mencampuri urusan Kalula, sedangkan gadis itu bebas keluar masuk dalam kehidupannya.

Entah ia yang terlalu bodoh, atau malah terbutakan rasa percayanya pada gadis yang semakin larut dalam tidur itu terlalu dalam. Bahkan tanpa ada niat sedikitpun menolak saat Kalula memperkenalkan dirinya dengan Emily.

"Gue harap, kalian bisa cocok satu sama lain."

Dengan kalimat itu sebagai awalannya, yang selalu terngiang setiap kenangan jumpa pertama antara ia dan Emily melintas.

Gibran ingin tahu apa saat berucap demikian, seorang Kalula Chandani sadar telah memberikan satu kursi miliknya di hati Gibran kepada orang lain? Benar-benar bodoh.

Bukan. Ia yang lebih bodoh.

.

Memandang aspal dengan cap ban basah sedan putih pukul setengah dua dini hari ini, lelaki berdenim hitam itu menendang kerikil di sekitaran sepatunya, memakai tutup kepala melenggang pergi.

Class Is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang