10. Fauzan Anarghya

117 42 100
                                    


Happy reading 🖤

.

Ingar bingar dunia malam di tengah ruangan remang itu jelas mengganggu penglihatan pemuda yang dengan kikuk mengucapkan permisi pada setiap bahu yang ia lewati. Berbekal ponsel di tangan, Fauzan mengencangkan jaket dengan lambang Damara di dadanya menuju meja bar ia membuat janji.

Sepertinya tak perlu waktu lama lelaki dengan tinggi pasaran orang Indonesia itu berhasil menemukan manusia yang sedari pagi membuat jadwal kegiatannya berantakan. Dan bodohnya ia tak bisa marah meski ingin. Siapa lagi kalau bukan si anak konglomerat, ketua kamarnya, teman dekatnya--ini perlu dipikirkan lagi--Gibran Adhiyaksa.

Dengan satu kali tepukan di punggung, Fauzan sanggup membangunkan Gibran yang terkulai malas di atas meja. Pelan dan hati-hati, Fauzan juga menggeser botol alkohol di sana menjauhkannya dari jangkauan pemuda tersebut.

"Ghy." Gibran yang masih menenggelamkan wajah di atas lengan bergumam. "Sembunyiin gue. Atau kita tuker tempat ajalah. Lo jadi anak bokap gue," ucapnya lemah. Dia pasti bercanda.

Fauzan mengernyit bingung berpikir mungkin temannya itu benar-benar mabuk. Tak merespon, lelaki itu justru menepuk pundak Gibran berkali-kali. Seperti, menunggu orang masuk angin untuk muntah.

"Lo inget boxer polkadot yang gue kasih pas lo ulang tahun?"

Oke, ini sudah fiks mabuk.

Suara Disjoki semakin menjadi-jadi bercampur dengan dentingan gelas yang disatukan. Teriakan muda-mudi yang bisa Fauzan analisis 50% siswa Damara juga turut menyertai. Ia bingung, sejujurnya jengah dengan sifat kekanakan Gibran yang harus ia tanggapi dua tahun ini. Tapi menyaksikan mereka yang berjoget pun ia tak selera.

"Hm, gue pake hari ini juga. Kenapa emangnya?" jawab Fauzan.

Dan berakhir seperti itu. Pilihan yang ia ambil dari sekian banyak opsi adalah menanggapi Gibran. Untuk alasan pertemanan apalagi balas budi, jelas ini sudah terlampau cukup.

Suara kikikan kecil menjadi jawaban selanjutnya dari Gibran. Pemuda itu duduk tegak, menatap netra hitam Fauzan dengan tenang. Sebelum berbicara bahkan Gibran tak lupa merapikan setitik rambut yang berantakan menutupi mata.

Kadang Fauzan bingung, apa rakyat good looking tak pernah ingin jadi jelek?

"Lo tau, itu bokap gue yang beli. Tapi gue gak suka. Ternyata selera lo," ucap Gibran setengah teler.

Fauzan tak tahu berapa banyak alkohol yang sahabatnya tenggak. Ini juga kali pertamanya melihat Gibran hilang kewarasan seperti sekarang. Biasanya, lelaki itu akan menjadi super kalem kalau mabuk, hanya wajah yang memerah, untuk bicara saja Gibran tak sanggup.

Mencoba menahan emosinya, Fauzan menarik napas panjang membawa Gibran turun dari kursi.

"Gue tau lo banyak masalah. Pulang aja. Selesaiin sama keluarga lo, keluarga Arsya. Bicara baik-baik, nanti--"

"Lula gimana?"

"Gib, stop!" seru Fauzan.

Fauzan tahu orang teler seperti Gibran sering kali berbicara melantur. Namun ada juga yang mengatakan, kondisi seperti ini justru seseorang akan berkata jujur. Jika mau, Fauzan bisa saja mengorek informasi yang sedari lama ia pendam rasa ingin tahunya dari Gibran. Alasan pertemanan, beruntungnya pikiran itu tak pernah terlintas.

Class Is OverOù les histoires vivent. Découvrez maintenant