15. Laporan kehilangan

140 16 22
                                    


Happy reading 🖤

.

Rayyina yang tiba-tiba tertarik dengan topik pembahasan dua lelaki di depannya juga ikut memasang telinga mendengarkan. Meski mata dan tangan terus bekerja pada deretan angka di kertas, jujur otaknya berada di tempat lain.

"Gue juga nggak bisa maksa, sih. Btw, apa lo punya tutor pribadi?" selidik Kala. Jelas Bumi lah yang dituju untuk pertanyaan tersebut. Tapi mata lelaki itu sudah siratkan segalanya, mengarah langsung pada Rayyi yang menunduk untuk mengetahui respon gadis itu.

Kalandra tahu seorang Rayyina dengan sangat baik.

Bumi menerawang langit-langit sambil mengetuk-ngetuk dagunya, "Tutor? Nggak ada sih. Cuma, gue nggak ada waktu buat bimbel apalagi kelas tambahan kaya gini," ucap laki-laki itu memperjelas.

Kalandra manggut-manggut saja setelah mendapatkan jawaban. Melirik Rayyi yang mencuri-curi pandang, gadis itu ketahuan menautkan alisnya yang sudah pasti Kala paham bukan karena si soal, melainkan jawaban Bumi barusan.

Pastinya pikiran yang sedang berkecamuk dalam benak Rayyina satu... Menganggap ucapan Bumi hanya omong kosong belaka. Siapa yang akan percaya, ada yang memiliki deretan nilai seperti taman huruf A tanpa dibantu dengan bimbel atau sejenisnya? Karena Rayyi yang mengikuti banyak pun masih merasa belum puas.

"Gue agak kecewa sih." Kalandra mengalungkan tangannya pada bahu Bumi seiring langkah remaja itu menuju pintu keluar. Wajahnya terpasang guratan sendu, tapi siapa pun yang melihat pasti paham, hanya sebatas lelucon konyol.

"Lo tau, kelompok belajar kita jarang diisi anak-anak spesial kaya lo ini." Berhenti di depan pintunya, Kala kembali menoleh pada sosok gadis dekat jendela yang kini nampak menenggelamkan wajahnya pada buku. Kacamata yang tergeletak di samping lengan yang ditekuk jelas menandakan gadis itu telah menemui batas akhirnya. Lelah.

"Dia itu... Rayyi." Kala menunjuk Rayyi dengan dagunya. "Juga gak mau masuk ke kelompok belajar," imbuhnya pelan.

Mantan ketua OSIS tersebut lagi-lagi mengulas senyum manis dari bibir tipisnya. Senyum yang kata anak-anak adalah senjata nuklir alasan lelaki penyandang lima besar paralel tersebut pernah mendapat setengah suara dari warga sekolah. Padahal kampanye nya, Kalandra hanya bagi-bagi voucher Bakso.

"Harusnya gue yang tanya, orang kaya lo ini udah gak butuh kelompok belajar, kan?" Bumi balik mengalungkan tangannya pada pundak Kala. Berdiri di ambang pintu, keduanya saling bertatapan dengan alis yang naik turun.

Ini aneh, jika anak-anak di koridor melihat, mereka bisa saja berasumsi yang tidak-tidak. Dan untuk sedikit informasinya, Kalandra adalah manusia pertama di Damara yang Bumi ajak bicara, dan konyolnya Kala juga yang memberi alamat ruang Guru menjadi toilet siswi hari itu. Dan begitulah cara mereka akhirnya berteman.

Mungkin tak sedekat orang-orang karena berpapasan pun hampir tak pernah di hari-hari biasa. Nomor kontak juga mereka tak punya satu sama lain. Jadi bukan teman, ya. Hanya sebatas kenal, mungkin.

Melepaskan tangan Bumi, Kalandra merapikan dasi saat melihat seorang siswa yang sangat ia kenal ternyata sedang berjalan ke arahnya sambil melambai, pemuda itu membalasnya dengan sunggingan bibir kecil.

"Lo gak akan tau apa aja yang gue dapet di kelompok belajar. Makanya gue kasih penawaran lo buat gabung, sayangnya lo nolak," ucap Kala, mendekat pada wajah Bumi, ia lewati begitu saja setelah memamerkan senyum miring penuh tanda tanya pada kalimat terakhirnya. Kalandra hanya ingin memprovokasi, bukankah strategi marketing harus seperti itu?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 04, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Class Is OverWhere stories live. Discover now