04. Gibran Adhiyaksa

162 60 204
                                    


Happy reading 🖤

.

Lelaki berjaket hitam itu baru saja memarkirkan mobil sedan putih miliknya agak jauh di bagian ujung. Meski tahu akan kesulitan saat keluar karena kondisi restoran yang ramai, tapi jelas ada alasan masuk akal, kenapa Gibran selalu memesan tempat tersembunyi untuk parkir.

Jawabannya, ada pada sosok gadis bersurai coklat kemerahan yang tengah melambaikan tangan dari dalam restoran, terlihat dari jendela. Gibran tersenyum simpul, membenarkan jaketnya kemudian berjalan masuk.

Terkadang, ada kalanya lelaki berperawakan kekar tak terlalu tinggi itu merasa lelah, terus-menerus kucing-kucingan seperti ini setiap bertemu kekasihnya, Emily.

Tapi tak ada pilihan lain. Mungkin pengecut, tak bisa Gibran sangkal. Sekali lagi, ia juga punya alasan masuk akal untuk yang satu ini.

"Kamu gak pulang?"

Pertanyaan pertama dari Emily, yang malam ini mengenakan dress tanpa lengan berwarna putih sampai bawah lutut.

Yang ditanya menggeleng lemah dari seberang meja, memandang sajian yang baru saja dihidangkan pelayan tepat saat ia duduk di kursinya. Kekasihnya benar-benar tahu apa yang ia suka.

"Aku bilang masih banyak tugas di asrama. Lagian males, besok ada jadwal makan malem sama keluarga Arsya," ujar Gibran, mengaduk minumannya tanpa melirik sedetik pun pada sang kekasih yang sudah menekuk wajah.

"Arsya beruntung, ya..."

Tring..

Suara dentingan garpu pada piring sontak membuat Emily sedikit terperanjat. Bahkan enggan melanjutkan kalimatnya, Emy hanya menatap sosok yang baru saja membanting garpu lekat dari seberang meja.

Gibran menghela napas berat. "Udah aku bilang, jangan bahas dia, oke?" Perlahan, tangan berotot lelaki itu maju, meraih tangan Emily yang baru ia sadari ternyata bergetar dingin. "Cukup bahas kita aja. Tentang kita--"

"Gak bisa. Karena faktanya emang ada dia, di antara kita." Emily melepas tautan tangan Gibran dari jemarinya. "Bukan. Bukan dia, tapi aku, ada di antara kalian. Gib, kamu harus bertindak. Kamu janji bakal nolak perjodohan--"

"Gimana?! Kamu mau aku terang-terangan nentang Ayah terus aku diusir dari rumah?!"

"Bukan gitu... bisa dibicarain baik-baik. Kamu bilang kamu sukanya sama cewek lain. Kalau cuma masalah bisnis, kamu bilang aja perusahaan ayah aku, pasti--"

"Nggak semudah itu Em, bukan karena uangnya, tapi lebih ke hubungan keluarga antara papah sama ayah Arsya--"

"Karena kamu nggak tegas!" seru Emily. Entah sejak kapan napasnya tersengal.

Tak ada sangkalan atau kalimat lain yang terucap dari bibir Gibran menanggapi suara kekasihnya yang tiba-tiba meninggi. Meski tersembunyi, satu tangannya terkepal di bawah meja meremas jeans hitam yang ia kenakan.

"Harus ada yang dikorbanin kalau mau dapet sesuatu. Itu udah paten, hukum alam! Aku..." Emily menunjuk dadanya dengan jari telunjuk. Mencondongkan tubuhnya ke meja, menatap Gibran tajam tepat pada manik hitamnya.

"... Aku siap nanggung apa pun yang bakal aku dapet kalau semisal hubungan kita ini kebongkar. Dihujat, dicap murahan lah, jalang lah, apa lah! I don't care! Karena itu udah bayarannya, resiko--"

Class Is OverWhere stories live. Discover now