3. Little Things Called Happiness

165 25 6
                                    


Selamat membaca.

Beberapa hari berlalu dari pengakuan Akira tentang perempuan idamannya.

Baik Akira maupun Thita menganggap seolah tak terjadi apa-apa. Anggap saja Akira sedang mendeskripsikan bagaimana perempuan yang ia suka. Yah, sebatas itu. Pikir Thita.

Kini, Thita, Akira, Marvel, Janu, Haris, dan tak ketinggalan Jana sedang berada di sebuah daerah padat penduduk di pinggiran kota.

Keenam orang tersebut sedang mengajar anak-anak di daerah tersebut yang kurang beruntung, tak seperti anak seusia mereka yang lain. Yang bisa dengan mudah mengenyam pendidikan tanpa perlu bersusah payah.

Semua bermula ketika Akira dan Thita tak sengaja melewati daerah tersebut. Melihat begitu banyaknya anak-anak yang bekerja membantu mengais rejeki untuk bertahan hidup, daripada anak-anak yang memakai seragam sekolah seperti pada umumnya.

Kala itu, Thita tanpa sadar meneteskan air mata. Pun begitu juga dengan Akira. Mereka berdua yang dari kecil bisa bersekolah dengan baik bahkan sampai di bangku kuliahpun, kadang masih mengeluh.

Ironi, tapi begitulah kenyataannya. Banyak sekali orang-orang menganggap hidupnya berat, tapi ternyata tak lebih berat dari hidup yang di jalani orang lain.

Jam mengajar mereka tak menentu. Kadang, bisa sabtu atau minggu. Itupun tak setiap minggu karena tak semua anak bisa mengikuti. Maka Akira dan kawan-kawan lebih memilih mengikuti waktu senggang mereka.

"Nah hari ini kita bakal belajar menyanyi. Siapa yang tahu lagu Indonesia Raya?" suara Thita terdengar di bangunan yang terbuat dari papan kayu tersebut.

Bangunan ini pemberian salah seorang warga yang sudah pindah ke kota. Tak begitu besar memang, tapi lebih baik daripada di bawah pohon seperti dulu, yang mana ketika hujan, mereka mau tak mau menghentikan pembelajaran.

Hampir setiap anak mengangkat tangan semangat. Ada beberapa juga yang tampak malu-malu.

"Saya mau maju nyanyi Kak Thita, boleh?"
Thita menatap seorang anak yang ia ketahui bernama Ani.

"Boleh banget. Ayo sini Ani." Gadis kecil itu lalu maju. Menyanyikan lagu kebangsaan negeri ini, diikuti oleh teman-temannya.

Akira dan yang lain juga tak ketinggalan ikut bernyanyi.

Dua jam pembelajaran berlalu dengan ceria. Anak-anak mulai membereskan peralatan tulis mereka.

Usai berdoa bersama, satu persatu melangkah keluar. Tawa dan keceriaan mereka masih terdengar samar-samar. Keenam orang tersebut tersenyum menatap Ani dan kawan-kawannya.

***
Selesai mengajar, mereka kini berada di sebuah waduk yang tak jauh dari tempat mereka mengajar tadi.

Menikmati senja sambil bercengkrama dan bercanda.

"Kalau dipikir-pikir kita tuh beruntung ya? Kita bisa tinggal di rumah yang melindungi dari panas dan hujan, bisa sekolah tanpa susah payah." ujar Janu sambil memandang air waduk yang sore ini tampak surut.

"Benar. Mereka bisa tertawa lepas bahkan dengan hal-hal yang mungkin menurut kita biasa aja. Dapat alat tulis contohnya. Ingat ngga pas pertama kali kita ngajar mereka?" timpal Marvel.

"Mata mereka berbinar-binar, saking bahagianya mereka. Menganggap kita kayak super hero yang datang di atas keputusasaan mereka memperoleh pendidikan." lanjut Marvel sambil tersenyum kecil.

Akira menganguk, "Orang tua mereka bahkan berkali-kali ngucapin terima kasih. Padahal yang kita lakukan itu ngga seberapa."

"Hal-hal kecil yang jadi kebahagiaan untuk mereka. Semoga kita bisa terus bersama untuk mereka. Setidaknya ada faedahnya kita jadi manusia." Haris menambahkan.

"Aamiin." sahut yang lain bersamaan.

Adzan maghrib sayup-sayup terdengar.

"Sholat yuk, udah maghrib." ajak Akira pada kelima temannya.

"Lah emang udah adzan?" Marvel mengerutkan kening.

"Lah ngga denger apa? Ke THT buruan." sahut Janu.

Yang lain tertawa kecil mendengarnya.

"Itulah kenapa pengeras suara di masjid tuh penting. Panggilan dari Tuhan aja kadang masih di sepelein. Giliran di panggil beneran aja, " lanjut Janu menambahkan.

"Setdah Nu, dark jokes." Haris bergidik.

Mereka lalu segera menuju ke masjid menunaikan kewajiban.

***
"Nanti Thita nginap di rumah Jana aja, Ta." kata Akira ketika mereka bersiap pulang.

"Kok? Ngga papa ntar gue pulang ke kos sendirian." timpal Thita.

"Nginap aja biasanya juga gitu kan?" Akira tampak tak setuju dengan Thita.

"Ya kan Na? Ngga papa kan Thita nginap?" Akira mengalihkan atensinya pada Jana.

"Hmm? Iya lah ngga papa. Ngga papa banget malah. Orang tua gue juga ngga keberatan. Besok juga kan minggu."

Thita menatap Jana. Jana meringis. Ia setuju dengan Akira, hari sudah malam. Akan berisiko jika seorang gadis pulang sendirian.

Atensi Akira kembali pada Thita. Menatap gadis itu sambil tersenyum jumawa. Sudah pasti Thita akan kalah pada akhirnya.

Haris, Marvel, dan Janu yang hanya diam menyaksikan, tentu berpihak pada Akira.

"Oke oke oke. Gue nginap di rumah Jana."

"Nah gitu dong." kata Akira, lalu mengacak pelan rambut Thita.

"Mohon maaf Mas, masih ada orang ini ya. Bukan nyamuk." ujar Janu.

"Memang orang tuh kalau jatuh cinta serasa dunia milik berdua." ucap Marvel ikut menggoda.

"Padahal milik bersama." sahut Haris dan Jana berbarengan.

Mereka lalu tertawa kecil. Akira menggaruk tengkuknya. Kemudian Thita melengos.

"Yaudah, kita duluan ya?" pamit Thita mengajak Jana segera naik ke motor gadis itu.

"Hati-hati."

***
Nulis ini, ngga tau kenapa nangis di bagian anak-anak yang sulit bahkan ngga bisa sekolah sama sekali. Nyesek bgt rasanya:(

Btw,
Malam minggu pertama tanpa Thyme dan Gorya:(

Tolong bantu koreksi typo ya,terima kasih. Happy satnite Nda.

-------------------------
16-04-2022

F.R.I.E.N.D.SOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz