13.Keep Going On

119 16 13
                                    

Lama Thita membolak-balik buku tebal berjudul Ensiklopedia Indonesia yang ada di hadapannya untuk menemukan sebuah materi yang ia cari. Buku hadiah ulang tahun Thita dari Akira tahun lalu. Laki-laki itu tahu Thita yang gemar membaca pasti akan suka kado pemberiannya. 

"Thita, ada paket nih."

"Ya, Din. Sebentar."

Dini menyerahkan paket atas nama Thita.

"Tadi pagi sampai sini. Cuman lo belum pulang-pulang, jadi gue bawa dulu." beritahu Dini.

"Iya tadi pergi dulu sama Akira. Makasih ya Din."

Dini mengangguk. "Eh ya Ta, yang kemarin itu lo jangan mikir yang gimana-gimana ya? Gue cuman nebeng doang. Serius."

"Apaan sih Din? Santai aja, santai."

"Lah gue takut ntar lo mikir gimana-gimana lagi. Tenang Ta, Akira hak paten lo."

"Hak paten, hak paten. Ada-ada aja."

"Tapi lo cemburu kan? Hayo ngaku." Dini menoel-noel bahu Thita.

"Ngga ya." sangkal Thita.

"Halah, ngga salah pasti. Tuh pipinya merah."

"Dini!"

Dini tertawa sedikit keras, lalu lari ke kamarnya. Thita menggelengkan kepala. Siapa yang cemburu coba?

***

Akira menunggu Thita selesai berdoa. Laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam yang senada dengan Thita itu mengamati gadis yang tengah menunduk, khusyuk.

Pagi ini, mereka tengah berada di makam milik ibunda Thita. Keduanya membawa bunga mawar putih kesukaan sang bunda, yang mana Thita ketahui dari ayahnya ketika pertama kali ia diajak kemari. Semalam, sang ayah menelfon, meminta tolong agar Thita tak lupa membawakan bunga untuk bundanya. Sebetulnya, ayahnya sudah ingin pulang, tapi lagi-lagi karena pekerjaan, ayahnya mau tak mau mengurungkan niat.

"Yuk." ajak Thita.

Terlalu sibuk mengamati sampai Akira tak sadar Thita sudah selesai.

"Duluan Ta. Gue mau ngomong sama Tante. Bolehkan?" tanya Akira meminta izin.

Thita mengangguk. Sudah menjadi agenda rutin laki-laki itu akan memintanya menunggu di depan makam. Entah apa yang Akira katakan, Thita tak tahu. Nanti kalau Akira ingin berbagi, pasti sudah ia ceritakan sendiri.

Menunggu lima belas menit, Akira muncul. Baru disadari Thita, hari ini laki-laki itu tampak gagah, pun dipermanis dengan kepalanya yang terpakai kopiah. Sebenarnya, Akira keren dari segi depan, belakang, samping sih. Batin Thita.

Thita cepat-cepat mengalihkan pandangan. Lalu pura-pura sibuk mengamati makam-makam di sekitar.

"Ayok pulang."

"Udah sarapan, Ki?"

"Hm? Tadi udah."

"Sarapan kopi?" tebak Thita.

Akira tersenyum, memamerkan deretan giginya. "Hehe." Hanya itu yang menjadi jawaban.

"Kan udah di bilang, kalau pagi harus sarapan nasi atau yang berserat. Kalau cuman kopi, kasian lambungnya." Thita menasehati Akira layaknya ibu pada anaknya. Pelan, penuh kelembutan.

"Iya, nanti sarapan nasi. Eh disana kayaknya ada nasi uduk. Enak deh pagi-pagi makan nasi uduk. Ayok beli, Ta." Akira segera mengalihkan pembicaraan. Kan agak gimana gitu di ceramahi di kuburan. Batinnya. 

F.R.I.E.N.D.SWhere stories live. Discover now