12. One Fine Day

72 13 3
                                    



Akira mengajak Thita mampir di kedai miliknya. Bagian indoor berlantai dua sudah selesai dibangun. Lantai dua menjadi ruangan pribadi Akira. Sekaligus tempat tinggal laki-laki yang lahir pada bulan Juli tersebut. Hanya tinggal menunggu bagian outdoor. Bagian outdoor terletak di belakang. Dengan meja kayu jati pun dengan kursi kecil-kecil berbahan yang sama. Semua dipesan Akira dari Kota Ukir, Jepara. Sementara bagian perpustakaan mini di sudut, menggunakan sepaket meja dan kursi yang terbuat dari hasil daur ulang tong bekas, karya pengrajin dari Kota Kembang, Bandung.

Atas saran Thita, halaman samping menjadi ruangan bermain yang ramah untuk anak, selain menjadi lahan parkir tentunya. Kata Thita, sayang sekali kalau lahan kosong itu dibiarkan begitu saja. Di halaman depan, ada berbagai tanaman bonsai yang Akira borong dari pengrajin tanaman bonsai yang ia temui ketika sedang jalan-jalan tanpa tujuan.

Setelah mengantar Jana pulang dari Rumah Sakit, Akira membawa Thita kemari.

Kini, mereka berdiri di beranda depan. Sambil melihat-lihat bermacam tanaman bonsai yang menurut Thita unik.

"Nama kedainya udah ada, Ki?" tanya Thita.

"Udah. Namanya Kedai Kenang Kopi."

"Terdengar tidak asing." komentar Thita.

Akira terkekeh, lalu mengacak rambut gadis itu.

"Mirip apa ya?" tanya Akira balik.

Thita mendelik. "Hm, kura-kura dalam perahu."

Tertawa lepas, lalu setelahnya menarik panjang nafas, Akira menatap lamat-lamat Thita. Gadis yang kini mengenakan sweater pink bergaris putih dan biru, lalu dipadu dengan celana berbahan denim itu tampak semakin manis ketika terlihat kesal, atau mungkin lebih tepatnya gemas padanya.

"Maaf ya, lagi-lagi ngga kreatif. Harus ada lo di dalamnya."

"Jadi?" tuntut Thita.

"Jadi, ya benar. Kenang berasal dari nama Kenanga. Tapi, artinya yang lain sesuai dengan kata kenang itu sendiri." jelas Akira.

"Biar terkenang-kenang, terngiang-ngiang." balas Thita sambil tertawa.

Akira ikut tertawa mendengarnya. "Tepat." tukasnya sambil memberikan dua jempol tangannya. "Ngga papa kan, Ta?" tanya Akira setelah tawanya mereda.

"Apa?"

"Ya itu, nama lo ada di nama kedai ini."

"Loyalti jangan lupa." ucap Thita bercanda.

"Gampang itu mah."

"Ih, bercanda Ki."

"Ngga bercanda juga ngga papa. Seribu kan?" Akira menaikturunkan kedua alisnya.

"Iya, seribu dinar."

Keduanya kembali tertawa bersama.

Adzan ashar terdengar. Akira lalu pamit pada Thita untuk pergi ke masjid yang berada di ujung jalan menuju jalan utama, karena mushola yang ada samping kanan kedai belum selesai dibangun.

F.R.I.E.N.D.SWhere stories live. Discover now