11

15 3 25
                                    

Terlihat seorang wanita keluar dari dalam restoran. Ia menenteng tas dan berjalan di pinggir trotoar entah ke mana tujuannya, mungkin hendak pulang. Rambut panjang wanita itu melambai seiring langkah kakinya, ia melihat sekeliling, menikmati suasana malam dengan bising kendaraan di jalan.

Saat ia tengah berjalan santai, mata wanita itu melihat ada dua kucing sedang kejar-kejaran di sebrang jalan. Ketika mendekati jalan, kucing abu-abu yang megejar berhenti, sedang kucing putih itu tetap berlari tanpa memperdulikan kendaraan yang lewat.

Seperti takdir yang selalu tepat waktu, saat kucing itu menyeberang jalan, ia tak sengaja diseremper oleh pengendara bermotor sampai ia terpental dan tidak bergerak.

Pengendara itu berhenti untuk memeriksa keadaa kucing itu. Namun, ia segera bergegas pergi saat wanita cantik itu berteriak.

"Woy, Mas! Tanggung jawab!" bentak wanita itu.

Mungkin karena panik, pengendara motor itu langsung tancap gas menghilang.

Wanita itu berlari menghampiri kucing yang tergeletak di tepi trotoar. Ia ingin memeriksa apakah keadaanya baik-baik saja atau sebaliknya.

"Syukurlah kucing ini masih bernapas," ujar wanita itu saat melihat perut kucing putih oranye itu kembang kempis.

"Aku akan bawa kau ke rumahku. Akan aku rawat sampai kau sembuh kembali."

Wanita itu kemudian membawa kucing itu ke rumahnya.

🐈🐈

Aku di mana? tanya Alex dengan meongan kecil yang khas. Ia masib asing dengan ruangan milik wanita itu.

"Kasihan kamu, Pus, jadi korban tabrak lari," ujar wanita itu. Ia seraya mengelus kepala Alex.

"Semalam saat kamu nggak sadar aku bawa kamu ke rumahku. Luka mu sudah aku obati saat kamu pingsan. Awalnya aku kira kamu sudah mati, Pus. Sebab kalau kucing diserempet kendaraan biasanya mereka lari untuk menghindar dari kerumunan. Tapi kamu nggak. Makanya aku kira kamu mati. Padahal kalau mati, aku sudah siapkan tempat kosong di halaman belakang," terang wanita itu panjang lebar. "Tapi syukurlah kamu nggak mati." Wanita itu tersenyum seraya mengelus kepala Alex.

Senyumnya begitu indah. Ada sedikit gingsul di gigi sebelah kirinya. Alex sekejap terpukau oleh kecantikan wanita ini.

"Oh, iya. Kita belum kenalan. Nama aku Veni," ujar wanita itu.

Alex masih saja melamun dengan mata yang membulat sempurna.

"Oke ... karena kamu tidak memiliki nama. Bagaimana kalau kamu aku beri nama yang lucu." Wanita itu mengetuk-ketukan jatinya di pelipis. Ia sedang berpikir.

"Bagaimana kalau, Pusy?"

Ide buruk, ujar Alex seraya menggeleng dan mengeong lirih.

Veni yang melihat itu lalu berkata, "Kamu pintar juga, ya, berselera tinggi soal nama." Kemudian ia tertawa.

Aku lapar, ujar Alex dengen meongan yang sedikit lebih keras. Jujur saja ia belum makan sejak kemarin siang.

"Sepertinya kau lapar? Bagaimana kalau kita sarapan dulu, oke. Tunggu sebentar."

Wanita itu kemudian beranjak dari tempat Alex dan keluar kamar. Sepertinya ia akan mengambil makanan untuk dirinya dan Alex.

Tak berapa lama kemudian Veni membawa piring dan mangkuk di tangannya. Setelah itu mangkuk ia letakan di depan Alex. Mangkuk itu berisi penuh makanan kucing.

"Makanan apa ini?" ujar Alex dalam meongnya. Ia lalu mengendus makanan kucing yang ada di mangkuk itu.

"Bisa kah aku minta makanan yang sama dengan mu?" tanya Alex. Ia memperhatikan Veni dengan mata bulatnya yang menggemaskan.

Veni yang mulai menyendol makananya menoleh pada Alex. Ia merasa sangat gemas dengan tatapan kucing satu ini.

"Kau tidak suka makanan itu, ya?" tanya Veni.

Alex menggeleng. Kini ia bisa berkomunikasi dengan manusia hanya dengan gerakan kepala.

"Apa kau mau ikan ini?" Veni menawarkan ikan cakalang yang ia masak dengan bumbu merah.

Alex mengangguk. Dari pada ia makan makanan kucing lebih baik ia makan itu, setidaknya Alex pernah makan ikan cakalang itu.

"Oke jika kau mau ikan ini akan aku campur dulu dengan nasi supaya kau suka." Veni mencampur ikan itu dangan nasi menggunakan tangannya. "Aku kira kamu kucing sultan yang nggak suka ikan beginian."

"Aku manusia."

"Aha!" Veni tersentak, ia mendapat ide yang sangat bagus. "Bagaimana kalau nama kamu itu Manci? Unik kan?"

Alex tidak meperhatikan Veni, ia sibuk makan makannya. Perutnya sudah sangat lapar.

"Nama itu diambil karena aku masak ikan ini di manci karena wajannya tidak ada jadi aku pakai manci." Ia terkekeh memikirkan hal konyolnya saat memasak.

"Kau suka 'kan, Manci?" tanya Veni.

Alex yang tidak mengerti apa yang dijelaskan sebelumnya hanya mengangguk. Yang ia tangkap Veni menanyakan makanan yang dimakannya.

"Rasa ikan ini semakin enak jika sedang lapar. Sepertinya akan jadi makanan favoritku saat jadi kucing," ujar Alex. Ia mangunyah seraya menggerang.

"Sepertinya kau suka ikan itu. Syukurlah, kau akan lebih cepat sehat, Manci."

Alex tidak menjawab, ia terlalu fokus sengan makananya yang segera tandas.

Setelah makan, Alex tidak melakukan apapun, hanya melakukan sedikit peregangan untuk membuat tubuhnya semakin membaik. Sesekalin Alex berkeliling, tetapi ia lebih banyak tertidur.

Dalam kondisinya menjadi kucing ia banyak sekali dapat pemandangan tentang semua hal yang diharapkannya selama jadi manusia.

Sore hari mereka berdua menu makanan yang sama dengan sarapan tadi. Alex mulai terbiasa dengan cara makannya sebagai kucing.

"Manci apa kau pernah pinya sahabat?" tanya Veni saat ia makan.

Alex hanya diam saja. Ia malas menjawab curhatan Veni, cukup mendengarkan seraya ia makan.

"Aku tidak pernah punya sahabat. Tapi dengar-dengar kucing punya banyak teman, ya?" ujar Veni seraya mengaduk nasi di piringnya. "Entah kenapa, kata orang aku orang yang aneh, Manci. Entah kamu mengerti atau tidak bahasa yang aku katakan, tapi kalau kamu mengerti dan seumpama kamu bisa menjawab, kamu menjadi sahabat pertamaku."

Veni menjelaskan panjang lebar, sebelum kembali lagi bercerita. Makanan Alex yang ada di tempatnya sudah tandas, sedang makanan di piring Veni masih setengah. Wanita itu sepertinya mengalami kesepian dalam hidupnya.

"Kamu tidak apa-apa, Ven?" Setelah makannya tandas Alex menatap wanita bersurai panjang itu.

"Tatapanmu lucu banget, sih, Manci? Sorry ya kalau aku sedikit cengeng." Veni tertawa hampa. Namun, kini rasa kesepian yang dialaminya sedikit berkurang karena hadirnya Alex alias Manci.

Veni hanya belum tahu siapa Alex sebenarnya. Entah bagaimana ekspresi Veni jika tahu bahwa Alex adalah jelmaan manusia. Apalagi Alex masih tidak bisa memahami dirinya sendiri. Ia masih belum bisa memahamin kenapa ia bisa menjadi kucing dan berubah menjadi manusia.

Saat bulan merajai langit, wanita yang tertidur di kasurnya itu tiba-tiba bangun. Ia menghadap cermin dan berbicara sendiri. Ia juga mengkucir rambut panjangnya, memakai pakaian yang ia keluarkan dari dalam lemari. Namun, sama sekali berbeda dengan yang ia kenakan biasanya.

"Selamat tidur dan selamat bangun."

🐈🐈

Do You Wanna Be A Cat?Where stories live. Discover now