20

5 0 0
                                    

Sampai hari yang ditunggu tiba, Alex masih berwujud menjadi manusia. Ia sudah merencanakan bagaimana ia akan mengorek informasi dari kucing abu-abu yang ia temui di taman. Menurutnya ini akan sangat mudah dengan kemampuanya.

Pagi itu Alex sudah rapi menunggu Veni yang masih bersiap di kamar. Ia mengenakan hoodie warna gelap dan memakai masker hitam. Dengan begitu tidak ada yang dapat mengenali agar identitasnya terjaga. Alex tidak mau misi pencarian obat penawar itu terhalang oleh sesuatu.

Cukup lama Alex menunggu Veni keluar dari kamar. Namun, Veni tidak kunjung keluar. Sampai akhirnya Alex coba mengetuk pintu kamar Veni.

"Iya sebentar!" ujar Veni dari dalam. Entah apa yang ia lakukan sampai memakan waktu lama. Alex berpikir, apakah Veni membangun PLTA di dalam sampai selama ini?

Saat Veni keluar ia mengenakan kaus lengan panjang warna hitam dan leging senada. Rambutnya melambai mengikuti lakinya melangkah.

"Ayo," kata Veni.

Alex yang sedang menunggu menghadap jendela, menoleh. Sejenak ia terpesona oleh kecantikan Veni pagi itu. Namun, ia kembali teringat akan misinya, ia harus fokus agar semua ini tidak sia-sia.

"Kamu sudah siap, Manci?"

"Sudah. Ayo berangkat."

Mereka berdua berboncengan menuju lokasi. Taman kota tempat komunitas itu berkumpul.

Semoga bisa bertemu kucing itu, batin Alex.

🐈🐈

Taman kota saat itu sangat ramai oleh orang berolah raga, maklum saja saat mereka datang tepat saat car free day berlangsung di taman itu.

Hiruk-pikuk ratusan orang yang ada di taman kota menjadi suara latar belakang misi Alex dan Veni pagi itu. Saat mereka sudah sampai, mereka celingukan mencari tempat komunitas itu berkumpul. Banyaknya orang lalu-lalang membuat mereka harus mencari ekstra agar dapat bertemu.

"Di mana mereka berkumpul, ya?" tanya Alex. Ia sampai berjinjit untuk dapat melihat tidak terhalang orang.

"Entahlah. Tapi di Instagram mereka selalu berkumpul di sini," jawab Veni.

"Kamu nggak salah, kan, Ven?"

"Aku yakin nggak akan salah. Coba kita keliling taman dulu, siapa tahu kita ketemu mereka."

"Ya. Aku juga berpikir hal yang sama."

Alex berjalan selangkah di depan Veni. Tidak dapat dipungkiri bahwa Alex adalah laki-laki yang lumayan ganteng menurut Veni. Meski ia lebih pendiam daripada yang dikira sebelumnya.

Diam-diam Veni memandangi Alex dari belakang. Entah apa yang ada di pikirannya sampai ia tidak fokus ke jalan dan hampir menabrak lampu taman.

Veni mengelus dadanya seraya menghela napas. Untung nggak nabrak, ujarnya membatin. Jika sampai itu terjadi rusak reputasinya sejak pertama kali bertemu dengan Alex.

"Ada apa?" tanya Alex.

Dengan berusaha tetap tenang, Veni menjawab, "Nggak apa-apa."

Pandangan Alex saat itu fokus mencari di mana komunitas pecinta kucing itu berkumpul. Ia tidak mau kalau ia kembali menjadi kucing tanpa memperoleh informasi apapun. Saat menjadi manusia, ini akan sangat mepermudahnya dalam bernegosiasi.

Saat mereka berdua berjalan mengamati sekitar, akhirnya mereka menemukan komunitas itu. Ada empat wanita menggelar tikar di atas rumput bersama, mereka terlihat sedang bermain dengan kucing di sekitar sana.

"Itu dia."

Veni dan Alex langsung menemui keempat wanita itu. Veni melangkah lebih cepat dari Alex. Alasanya adalah matanya menemui ada kucing yang sangat menggemaskan sedang melompat-lompat bermain bersama majikannya.

Seperti menemukan manian baru, kini Veni sibuk bermain bersama kucing itu. Sedang Alex, ia datang dan langsung bertanya tentang kucing warna abu-abu yang ditemuinya minggu lalu. Namun, mereka menjawab bahwa ada banyak yang memiliki kucing dengan ciri-ciri mirip seperti yang Alex sebutkan.

"Namanya Rani. Yang punya kucing abu itu," ujar Veni. Ia masih bermain dengan kucing anggora yang di pegangnya.

"Oh ... kalau Rani biasanya datang agak siang. Biasanya sih datang jam delapan itu, Mbak," tanggap wanita itu.

Alex mengangguk mendengar informasi barusan. Ia harus sedikit bersabar menunggu kedatangan kucing itu.

"Manci, kucing ini mirip kamu tapi ini versi anggora dan perempuan," ujar Veni. Ia memegang kucing warna putih oranye dengan bulu yang lebat. Kucing itu hanya diam saat dipegang oleh Veni.

Alex menghampiri kucing yang dipegang Veni, ia juga mengelus kucing itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Alex. Namun kucing itu tidak bicara.

"Kau cukup pendiam, ya."

"Dia nggak bicara apa-apa?" tanya Veni. Ia sangat penasaran dengan bahasa kucing.

"Nggak. Kucing ini diam saja. Mungkin lapar."

"Kamu lapar, ya? Hmm?" ujar Veni pada kucing itu. Kebiasaan para pecinta kucing adalah mengajak kucing berbicara bahasa manusia. Meski kucing itu tidak bisa menjawab dengan bahasa yang serupa. Mungkin mereka akan hanya menjawab dengan meongan yang sesuai dengan bahasa mereka.

Cukup lama mereka menunggu Rani datang bersama kucing abu-abu itu. Sudah Satu jam dan akhirnya Rani yang ditunggu-tunggu datang juga.

Veni menyapa Rani wanita itu terlebih dahulu. Saat sekian detik mengingat siapa orang yang menyapanya, Rani tersenyum dan membalas sapaan Veni. Di belakang Rani terlihat juga Moyi, kucing abu-abu yang berwajah judes.

"Hey. Apa kabar, Ran?" tanya Veni saat Rani hendak duduk di sebelah Veni.

"Baik-baik," jawab Rani, "mana kucing putih oranye yang waktu itu?"

Sebelum menjawab Veni menoleh pada Alex, ia melakukan kontak mata dan Alex mengisaratkan agar Veni menjaga rahasianya.

"Ahh ... kucingku ada di rumah. Dia aku lihat tidur tadi. Jadi ya sudah aku ke luar saja. Ini kucing kamu yang waktu itu, ya, Ran?"

"Ia ini kucing yang waktu itu. Moyi." Kucing itu terlihat sedang duduk saat dielus oleh Rani.

Alex masih mengamati kucing itu. Kini ia akan melayangkan pertanyaan pada Moyi tentang pernyataanya waktu itu.

Mula-mula, Alex juga mengelus tubuh Moyi. Lalu dengan berbisik, Alex bertanya. "Kau manusia kucing juga, ya, Moyi?"

Kucing abu-abu itu menoleh, matanya membulat sempurna. Ia mengeong lirih.

"Dari ekspresi mu sepertinya ini benar."

Kucing itu kembali mengeong. Namun meongannya itu sama sekali tidak bisa dimengerti oleh Alex. Ia yakin bahwa Moyi sedang menyampaikan sesuatu, tetapi Alex tidak paham.

Sialan kenapa aku nggak bisa paham apa yang kucing ini ucapkan? Prasaan saat aku jadi kucing aku bisa komunikasi dengan mereka, ujar Alex membatin.

Moyi hanya menatap Alex dengan tajam. Sedang Alex masih berpikir apa yang harus ia lakukan agar ini tidak sia-sia.

Di sisi lain Rani memperhatikan Alex. Laki-laki ini terlihat mencurigakan menurutnya.

"Itu pacarmu, Ven?" tanya Rani.

"Bukan. Itu hanya teman, kebetulan dia suka kucing juga. Jadi aku ajak kesini," jawab Veni.

Rani mengangguk mendengar jawaban Veni. Namun, ia masih memperhatikan tingkah Alex yang makin aneh.

"Tenang saja. Dia tidak jahat, kok." Veni coba meyakinkan Rani.

Alex masih mencoba berkomunikasi dengan Moyi dengan cara, ia ikut mengeong. Bahkan ia juga merangkak seraya mengeong agar kucing itu paham maksudnya. Sampai semua orang yang melihat Alex tertawa geli melihat tingkah orang itu.

"Apaan, sih, orang ini. Dia gila ya?" ujar Moyi seraya mengeong.

Setelah dirasa percuma, terpikir sebuah ide.

"Ven, kamu bawa ponsel ku?"

"Bawa. Ada apa?" tanya Veni.

Alex lalu menoleh pada Rani lalu berujar dengan mata serius. "Mbak, Moyi bisa main HP, ya?"

🐈🐈

Do You Wanna Be A Cat?Where stories live. Discover now