15

9 1 13
                                    

Veni masih bingung dengan apa yang dilakukan Manci. Itu tergambar jelas dari tatapan mata Veni.

"Kjadian kemarn it aku. Ak msnnusia. Sku vutuh ba5uan utuk seambuh," cukup lama Alex mengetik itu, tulisannya berantakan sebab, apa yang ia sentuh tidak tepat sasaran.

"Sepertinya aku sekarang sudah gila," ujar Vani seraya memijat keningnya.

Manci mengeong, meyakinkan pada Veni bahwa ini adalah kenyataan.

"Oke kalau ini nyata, bagaimana kau bisa meyakinkanku?"

Alex berpikir sejenak, ia punya satu cara agar Veni bisa percaya apa yang dia katakan. Kemudian ia turun dari meja lalu mengeong mengisyaratkan agar Veni mengikutinya keluar. Ia akan membuktikan sesuatu di rumahnya.

Veni mengikuti Manci menuju teras rumah. Di sana terdapat motor yang terparkir di rumah, kemudian Alex naik di atasnya.

"Kau mau ajak aku ke mana? Ini sudah hampir malam."

Ikut saja. Aku akan tunjukkan sesuatu. Begitu maksud meongan Alex seraya menepuk jok motor itu.

"Oke, aku akan menurut. Aku akan ambil jaket terlebih dahulu."

Veni lalu masuk ke dalam dan tak lama kemudia ia keluar dengan mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu.

"Kita akan ke mana?" tanya Veni dan hanya di jawab meongan dengan Manci.

Manci duduk di keranjang depan motor Vespa matik milik Veni. Tugasnya sebagai menunjuk arah saat persimpangan.

Veni tidak terlalu paham dengan maksud Manci. Ia hanya mengikuti apa yang ditunjuk oleh kucing itu. Sebenarnya ia sangat terkejut dengan perubahan Manci yang kian hari kian aneh saja. Ia pernah bilang bahwa Manci memang bukan seperti kucing kebanyakan, ia spesial dengan semua tingkahnya.

Sekitar lima belas menit mereka sampai pada rumah bercat putih, ada motor terparkir di depannya.

"Ini rumah siapa, Manci?" tanya Veni yang dijawab dengan meongan.

Lalu kemudian ia masuk dan mengisyaratkan Veni agar mengikutinya.

Veni mengendap melewati pagar rumah yang tidak dikunci itu. Sesampainya di teras, Veni celingukan mengintip jendela, menerawang ke dalam. Siapa tahu ada orang di dalam.

Sedang Manci melompat-lompat hendak menggapai knop pintu rumah itu.

"Apa rumah ini tidak dikunci?" ujar Veni lalu memutar knop pintu itu. "Benar pintu ini tidak dikunci."

Manci masuk terlebih bahulu, ia mencari ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Saat ponselnya ketemu, ia menulis sebuah tulisan. 'Iji rmahku dan it.bajumu.'

Manci mengeong keras agar Veni tahu keberadaanya.

Veni masuk ke dalam kamar yang berantakan itu, ia dapati Manci ada di atas kasur dengan ponsel di kakinya. Veni membaca tulisan typo itu dengan seksama. Sedang Manci turun dari kasur menuju jaket The Power Puff Girls yang berada di bawah lantai.

"Bukanya ini bajuku. Kenapa bisa ada di sini?" ujar Veni, "atau jangan-jangan maling itu tinggal di sini."

Manci mengeong seraya menggeleng.

"Apa maksud kamu, Manci?"

Manci kemudian menunjuk pada jaket itu. Ada bulu putih yang menempel di sana sebagai bukti bahwa itu bekas ia kenakan.

"Jadi kau mau bilang, kau ini kucing jelmaan orang kemarin?"

Manci mengangguk lagi.

"Dan kau ingin membuktikannya dengan mengajaku ke sini?"

Manci kembali mengangguk.

"Oke ini terlalu gila. Dan aku tidak paham sama sekali apa yang terjadi," kata Veni, ia mengelus kepalanya sendiri.

Ia lalu menarik napas panjang kemudian berujar, "Anggap saja ini adalah hal nyata. Jadi apa yang kau mau?"

Meoong!!

"Kau butuh batuan?"

Manci kembali mengangguk.

"Apa yang bisa aku bantu?"

Alex kembali mengetik. Kini ia sudah mulai terbiasa dan sedikit tepat sasaran dalam menekan papan ketik.

"Bant aku cari pnwar. Aku ykn psti ada," ujar Alex di teks itu.

"Tapi ini terlalu gila. Bayangin aja, aku ketemu orang yang ngaku sebagai kucing yang kapan hari aku selametin dari tabrak lari. Dan sekarang kucing itu bisa main HP dan punya rumah, dan sekarang kamu Manci yang aku anggap kucing pintar ternyata manusia. Aarrggh ... sebentar, oke. Biarkan aku pikir ini dan bernapas dengan tenang," bicara Veni sangat cepat dan rumit di telinga Alex.

Veni menarik diri sejenak, ia memalingkan wajahnya dan menggigit bibirnya sendiri.

"Jika ini kenyataan aku harus bantu Manci supaya lepas dari kutukan. Tapi, gimana kalau kucing itu sudah terlatih dan punya majikan yang sewaktu-waktu bisa culik aku. Ah ... misal itu terjadi aku akan ikat dia agar nggak bisa jauh dari aku dan nggak bisa lapor ke majikannya. Tapi kalau dia bener kena kutukan dan aku bantu, apa untungnya buat aku? Emmm ...."

Veni berbalik lalu kembali berkata, "Kalau aku batu kamu, apa untungnya buat aku?"

Kini Alex yang berpikir. Dirinya bisa memberi apa kepada Veni agar ia mau membantuku.

Tak berapa lama Alex berpikir, kemudian ia mengetik dalam ponselnya.

"Klau aku jdi mnsia. Sbagian tbungnku untk kmu," ketiknya.

"Memang kau punya tabungan berapa?"

"Bnyak."

"Oke kalau begitu. Aku mau membatumu ...," kata Veni, "asal kau mau aku ikat dan nggak boleh pergi dari aku. Tenang aku nggak ikat kamu kencang. Kamu nggak bakal aku sakiti. Bagaimana?"

Tak perlu berpikir lama, kemudian Alex mengangguk.

"Satu lagi. Nama kamu tetep, Manci, ya. Lucu soalnya dan cocok dengan dirimu sekarang."

Alex mengangguk lagi. Ia tidak perduli dengan semua itu. Yang ada di pikiran Alex hanya dirinya bisa jadi manusia lagi.

"Oke sekarang pertama-tama apa yang harus di lakukan?" tanya Veni pada Manci.

Manci menggeleng sebagai jawaban.

Veni kembali berpikir.

"Apa kamu pernah makan atau minum makanan asing atau dari orang tidak dikenal?" tanya Veni menyelidik.

Alex lalu mengungat kejadian waktu ia menemukan air nikmat itu. Lalu ia mengangguk.

Setalah itu ia menunju tempatnya menyembunyikan botol kaca bekas air misterius itu.

Veni mengambil botol itu lalu mengendus isinya yang kosong.

"Baunya aneh," ujar Veni, "kau minum ini sampai habis?" tanya Veni.

Alex mengangguk.

"Kamu dapat dari mana?"

Alex diam saja. Ia sangat ingin mengatakan semuanya, tetapi ia tidak bisa berkata apa-apa. Semua ini sengat menjengkelkan bagi Alex. Ia sejenak berpikir cara komunikasi yang efektif.

"Jangan-jangan kamu nemu minuman ini dan kamu minum sembarangan?"

Alex mengangguk dengan semangat.

"Kalau ini awal dari kutukan mu. Kita harus cari tahu asal mula dari minuman ini."

Veni mengamati dengan teliti botol kaca yang ada di tangannya. Botol itu bening dan beraroma aneh dengan tutup kayu yang unik.

"Kalau begitu aku sekarang pulang. Ini bukan rumahku dan di sini sangat berantakan. Aku pusing melihat semua ini. Dan kau Manci, ikut denganku." Veni membawa serta botol itu dan juga ponsel yang dipakai Alex.

Manci mengangguk. Ia suka tidur di rumah Vani. Di sana nyaman dan yang pasti terjamin soal urusan perut.

🐈🐈

Do You Wanna Be A Cat?Where stories live. Discover now