Part 26

2.2K 362 62
                                    

"Eyang ora mudheng meneh karo kowe, Bagas." kata eyang.

(Eyang nggak ngerti lagi sama kamu, Bagas)

Tatapan eyang sangat tajam, meski kondisi tubuhnya masih lemah, eyang Muti tidak bisa menahan kemarahannya pada cucu kesayangannya itu.

"Maksud Eyang kados pundi? Bagas mboten ngertos."

(Maksud eyang apa? Bagas nggak ngerti)

Bagas balik menatap eyang Muti, terlihat wajahnya kebingungan. Baru saja ia sampai di rumah, eyang sudah memanggilnya dan membicarakan hal yang sama sekali tidak diketahuinya.

"Kondisi Eyang wae durung pulih, lan pirang dino iki koe mesti mangkate luwih esok lan mulih wis tengah wengi. Koe nganti ora sempet niliki Eyang."

(Kondisi eyang saja belum pulih, dan beberapa hari ini kamu selalu berangkat lebih pagi dan pulang sudah larut malam. Kamu bahkan tidak pernah menjenguk eyang lagi)

Bagas memejamkan mata sebentar, Bagas sadar kesalahannya. "Bagas nyuwun pangapunten, Eyang. Bagas mboten enten maksud  mboten gagas Eyang, namung wingking niki Bagas ketemu Arimbi ... "

(Bagas minta maaf, Eyang. Bagas tidak bermaksud mengabaikan eyang. Hanya saja, belakangan ini Bagas menemui Arimbi ...)

Belum sempat Bagas menyelesaikan ucapannya, eyang dengan cepat memotong ucapan Bagas.

"Arimbi? Wadon kui menehseru eyang." kata eyang acuh.

(Arimbi? gadis itu lagi)

"Wis jelas wadon kui aurane ora apik. Wonge gawe hubungan keluargane dewe dadi bubrah." sahut eyang.

(Sudah jelas, gadis itu auranya nggak bagus. Dia membuat hubungan keluarga kita jadi kacau)

"Mboten enten ingkang bubrah, Eyang, Arimbi nembe wonten alangan, Rimbi kesrempet mobil lan lorone lumayan parah, dadosipun ... "

(Nggak ada yang kacau, Eyang. Arimbi baru terkena musibah. Dia terserempet mobil dan lukanya cukup parah. Jadi ... )

"Apa sakitnya eyang ndhak terlalu parah?"

Bagas tidak bisa berkata apa-apa lagi,  ia menarik napas panjang lalu mendekati eyang, ia bersimpuh di kaki eyang Muti. Jemarinya meraih jemari-jemari eyang yang telah keriput, kemudian ia menggenggam tangan itu sembari menengadah menghadap eyang.

"Eyang ndhak perlu mempertanyakan hal seperti itu, eyang tentu sangat penting dan berharga dalam hidupku. Namun, ada sesuatu yang lain," kata Bagas. "Sesuatu yang kini juga mulai mengisi hatiku, aku sudah memilih, Eyang." suara Bagas terdengar sangat hati-hati dan penuh harap supaya eyang bisa mengerti keinginannya.

Eyang menarik tangannya, tatapannya tajam ke arah Bagas. "Sebuah perasaan kadang ndhak bisa diikuti begitu saja, apalagi oleh orang-orang seperti kita. Darah biru yang mengalir dalam tubuh seseorang itu penting, kita bukan saja harus mempertahankan, kita juga harus meneruskan. Koe ojo nganti nglalekne kui."

(Kamu jangan sampai melupakan itu)

Kata-kata eyang jelas benar adanya, tapi ini masalah hati, masalah perasaan. Bagas tidak menyukai Tiara, bagaimana bisa ia menjalankan amanat leluhur untuk meneruskan garis keturunan ningrat yang melekat padanya. Menurutnya, memiliki darah ningrat atau tidak bukanlah sebuah masalah.

***

Bagas membolak balik majalah di tangannya, ia melihat jam tangannya untuk kesekian kalinya. Belum lewat dari waktu yang dijanjikan, tapi ia sudah tidak sabar.

krek.

Pintu ruangan terbuka, Tiara melangkah masuk setelah mengucapkan salam sebelumnya. Tiara mengenakan sweater rajut warna mint dengan bagian leher yang cukup rendah. Celana warna krem membuatnya terlihat cantik.

"Maaf, kalau aku sedikit terlambat, Mas." ucap Tiara setelah berada di hadapan Bagas.

"Ndhak apa-apa, silahkan duduk." Bagas mempersilahkan  Tiara untuk duduk.

"Terima kasih kamu sudah bersedia datang, ada beberapa hal yang mau aku bicarakan." ucap Bagas langsung.

"Ndhak apa-apa, Mas. Aku seneng kok ketemu sama mas Bagas. Apalagi aku sudah cukup lama di sini, aku ingin jalan-jalan berdua sama mas Bagas." kata Tiara.

"Sebaiknya kamu bilang sama eyang, kalau kamu menolak perjodohan ini. Sama sepertiku." Bagas mengabaikan ucapan Tiara, ia harus segera mengakhiri semua ini. Dan hanya Tiara yang bisa menyelesaikannya dalam waktu cepat.

Mendengar ucapan Bagas Tiara tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia tidak menyangka Bagas akan mengatakan hal seperti ini.

"Apa?" seru Tiara.

"Aku sudah bilang ke eyang kalau aku ndhak menyetujui perjodohan ini, jadi sekarang adalah giliranmu."

Tiara membuang napas kasar, "Aku ndhak menyangka mas Bagas memintaku untuk menolak perjodohan ini? ndhak mungkin aku melakukan hal konyol seperti ini, apalagi dengan kondisi eyang saat ini. Mas Bagas ndhak mau kan' eyang kenapa-napa lagi?" suara Tiara terdengar berat.

"Karena itu, aku meminta kamu untuk menyampaikan penolakan ini ke eyang, jadi kita berdua memang sama-sama tidak menginginkan perjodohan ini."

"Tapi aku menginginkan perjodohan ini, Mas." kata Tiara.

"Kalau kamu menginginkan perjodohan ini, kamu ndhak mungkin memiliki pasangan di luar sana."

Tiara kembali terkejut dengan ucapan Bagas. "Apa maksdumu, aku ndhak ngerti." balas Tiara, wajahnya gelisah.

"Kamu ndhak usah berbohong, aku tahu semuanya, aku tahu apa yang kamu lakukan. Aku heran sama kamu, untuk apa kamu pura-pura menerima perjodohan ini. Bukankah kita sudah punya pasangan masing-masing?" ucapan Bagas yang tajam serta tatapannya yang tidak lepas dari Tiara membuat Tiara semakin gelisah.

"Aku ndhak ngerti apa yang kamu bicarakan." sangkal Tiara.

"Apa aku harus memperlihatkan bukti-bukti itu padamu, sekarang?" desak Bagas.

Tiara menahan amarahnya, sepertinya Bagas telah mengintai kegiatannya selama ini.

"Kamu ndhak berhak mengintai kehidupanku." kata Tiara.

"Maaf, tapi aku harus melakukannya."

Tiara berusaha meredam amarahnya, ia berdehem, "apapun itu aku ndhak akan mundur dari perjodohan ini, maaf calon imam, belum apa-apa sudah membuatmu kecewa." setelah mengatakan hal itu Tiara beranjak dari duduknya kemudian keluar dari ruangan Bagas.

***

Next?

Blind DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang