Part 41

1.5K 318 44
                                    

Aroma khas rumah sakit tercium, perlahan Bagas membuka pintu kamar eyang. Nampak sang ayah tengah berdoa di sisi ranjang eyang, dan ibunya tengah mengupas buah apel.

"Bagaimana keadaan eyang, Ayah?" Tanya Bagas.

"Sepertinya sudah lebih baik, jantungnya mulai stabil, insyaallah sebentar lagi beliau sadar." Kata Ayah optimis.

Bagas duduk disebelah ibunya, "ibu sepertinya kurang tidur, ayah dan ibu baiknya pulang dulu, istirahat. Malam ini biar Bagas yang jagain eyang." Kata Bagas.

"Kami juga berencana pulang, besok pagi kami kembali ke sini, kamu ndhak apa-apa jagain eyang sendiri? Ayu masih ada quiz besok pagi jadi ndhak bisa jagain eyang dulu."

"Ndhak apa-apa, Ayah. Bagas akan jagain eyang."

"Kamu makan apelnya ya, ibu sama ayah pulang dulu." Kata ibunya sembari menyerahkan piring apel pada Bagas.

"Baik, Bu." Jawab Bagas.

Setelah memastikan kondisi eyang, Bagas berbaring di sofa panjang yang ada diruangan itu. Bagas membuka salah satu medsosnya, diam-diam ia serinh men_stalking medsosnya Arimbi.

Dadanya berdetak tak beraturan, sesak dan rasanya akan meledak. Beberapa jam yang lalu Arimbi memposting fotonya bersama teman-teman lamanya, dan yang menjadi sumber detakan di dadanya sekarang adalah Arimbi yang sedang duduk, tersenyum manis ke arah kamera dan di sampingnya ada dokter Haikal yang juga tengah tersenyum bahagia, sialnya lagi tangan laki-laki itu merangkul mesra pundak Arimbi.

"Sialan," desisnya marah. Ia mendesah, "kumohon bertahanlah Arimbi, sebentar lagi aku akan menemuimu, aku sedang memperjuangkan cinta kita. Mungkin caraku salah, tapi kumohon, tunggu aku." Lirihnya.

Keesokan paginya, Bagas terkejut sekaligus bahagia melihat eyang mulai membuka mata.

"Eyang, Ya Allah gusti, alhamdulillah. Apa eyang baik-baik saja? Apa ada yang terasa sakit?" Tanya Bagas khawatir. Ia menggenggam tangan eyang, mencium punggung tangan yang lemah itu.

"Apa yang terjadi? Eyang dimana?" Tanya eyang lemah sembari mengumpulkan kembali tenaganya, tubuhnya terasa lemah sekali, rasanya berat untuk menggerakkan salah satu anggota tubuhnya.

"Eyang di runah sakit, sudah hampir empat hari eyang di sini. Dan ini semua salahku, harusnya aku ndhak menunjukkan foto-foto itu pada eyang." Sesal Bagas.

Eyang mengkerutkan dahi, ia mulai ingat kejadian sebelum ia mengalami serangan jantung dan berakhir di rumah sakit.

"Maafin Bagas, Eyang, maaf." Ucap Bagas tanpa henti, air matanya mengalir deras. Ada penyesalan dan juga rasa haru karena eyang sudah sadar dari komanya.

Eyang mengusap lembut kepala cucu kesayangannya. Ia tahu, pasti cucunya mengalami hal yang berat karenanya selama ini.

***

Marissa muncul tiba-tiba di rumah Arimbi. Wajahnya terlihat berbeda.

"Kenapa mukanya gitu, aneh tahu." Kata Arimbi. "Tumben juga dateng nggak bilang-bilang." Lanjut Arimbi.

Marissa tidak menjawab pertanyaan Arimbi, ia menyeret sahabatnya itu duduk di sofa. "Bener kamu lagi deket sama dokter yang namanya Haikal?" Tanya Marissa.

Arimbi baru sadar kalau selama ini ia belum menceritakan tentang Haikal pada Marissa. "Haikal teman sekolahku dulu, rumahnya juga deket kok dari sini. Kenapa?" Tanya Arimbi.

"Rimbi, tolong dengerin aku ya, kamu nggak boleh menjalin hubungan apapun dulu dengan laki-laki manapun."

Ucapan Marissa tentu membuat Arimbi heran, "tunggu dulu, maksudmu apa? Terserah aku dong mau dekat atau nggak dengan laki-laki. Aku jomblo kalau kamu lupa." Kata Arimbi mengingatkan.

Blind DateWhere stories live. Discover now