Part 30

1.7K 347 33
                                    

Arimbi duduk menopang dagu di sofa dekat jendela kamarnya. Tatapannya tertuju pada bunga-bunga yang biasanya segar itu kini terlihat layu. Mama tidak sempat menyiraminya seperti biasa, mungkin bunga-bunga itu ikut merasakan kesedihan nyonyanya.

Selain pada bunga-bunga itu, pikirannya melayang pada malam kejadian itu. Malam dimana ia kehilangan sang papa dan juga kekasih hati. Pria yang menjadi tambatan hatinya itu memutuskan hubungannya begitu saja. Pria itu menyerah pada rencananya, tapi bukankah hati mereka yang mulai terpaut di luar rencana? batin Arimbi. Arimbi mendesah, rencana atau di luar rencana ia tetap dicampakkan. Apa karena aku berasal dari keluarga biasa saja? harusnya Bagas tidak menggunakan aplikasi perjodohan itu, harusnya dia nggak usah susah payah bersandiwara seperti ini, toh dia tetap saja mengikuti kata eyangnya.

"Pa, Rimbi kangen pa." ucap Arimbi sembari menyandarkan kepalanya di tembok.

"Seandainya Rimbi bisa mengulang waktu. Malam itu harusnya Rimbi di rumah nemanin papa, harusnya Rimbi nggak nemuin Bagas. Iya 'kan Pa?" monolog Arimbi.

"Sayang,"

Mama masuk ke kamar Arimbi, dan tidak sengaja mendengar ucapan Arimbi. Lalu ia duduk di samping putei semata wayangnya itu.

"Kamu dan Bagas ... berpisah?" tanya mamanya dengan hati-hati.

Arimbi mengangguk lemah, "iya, Ma."

"Kenapa? kalauama boleh tahu." tanya mama sembati mengelus lembut rambut putrinya.

"Bukan karena apa-apa, Ma. Itu hanya karena Arimbi bukan keturunan ningrat." kata Arimbi sembari menertawakan dirinya. "Mama sih, kenapa nggak menikah dengan keturunan bangsawan sih?" canda Arimbi.

Raut wajah mama langsung berubah, dan Arimbi melihat itu. Ia langsung merasa bersalah, "maaf, Ma. Rimbi nggak bermaksud apa-apa. Rimbi bahagia jadi anak mama dan papa." kata Arimbi.

Mamanya menggeleng pelan lalu menyentil ujung hidung Arimbi, "kamu itu ya, masak gara-gara satu anak bangsawan kamu mau mengganti orang tuamu sih." kata mama sewot.

"Iih nggak gitu, Ma." kata Arimbi sembari memegang lutut mamanya.

"Kalau bukan bangsawan yang itu kan ada bangsawan yang lain." kata mama.

"Bangsawan yang lain? siapa maksud mama."

"Siapa lagi kalau bukan dokter Haikal."

"Hah," seru Arimbi terkejut. Haikal seorang bangsawan? masa iya sih? kok selama ini dia nggak pernah tahu. Tapi, tunggu dulu, Arimbi berusaha mengingat-ngingat memori saat bersama Haikal dulu. Ia ingat di absennya Haikal namanya ada singkatan huruf  R. Apa itu singkatan dari Raden? owh Arimbi menutup mulutnya.

"Iih kamu gimana sih, masih muda malah lupa." ejek mamanya.

"Itu kejadian lama, Ma. mana Rimbi ingat semua coba." kata Rimbi.

"Kamu yang kuat, sabar dan jangan lupa berdoa sama Allah swt, supaya setiap langkah kita selalu dilindungi dan diberkahiNYA, aamiin yra." doa mama yang ikut diaminkan oleh Arimbi.

"Kapan masuk kerja lagi?" tanya mama. Ia ingin Arimbi segera masuk kerja lagi supaya bisa mengalihkan perhatiannya atas kesedihannya kehilangan sang papa dan juga kekasih sekaligus.

"Masih 3 hari lagi, Ma. Arimbi langsung ambil cuti." kata Arimbi.

"Baiklah, mama ke dapur dulu amu siapkan minuman untuk acara nanti malam." kata mama.

"Acara zikiran malam ke 9 kepergian papa ya, Ma?"

"Iya, sayang."

"Nggak kerasa ya sudah 9 hari papa pergi." kata Arimbi sedih.

Mama tersenyum, "mama ke dapur dulu." pamit mama.

Arimbi mengangguk, lalu kembali menatap bunga-bunga yang hampir layu itu.

***

Acara zikir malam ke 9 berjalan lancar, tamu yang hadir sangat banyak, Arimbi kembali bersedih. Begitu banyak yang menyayangi papanya, hingga dari pertama kepergian papanya hingga detik iki rumahnya tidak pernah sepi. Selalu banyak orang yang datang untuk membantu mama memeprsiapkan semuanya.

"Ehem."

Arimbi menoleh ketika seseorang berdehem di belakangnya.

"Haikal." seru Arimbi terkejut.

"Maaf aku tidak bermaksud mengejutkanmu, sungguh." kata Haikal.

"Nggak pa-pa, aku yang melamun." kata Arimbi.

"Wah ... wah ... wah gadis cantik tidak bisa dibiarkan melamun, jadi demi kesehatan pasien aku harus menemaninya." kata Haikal, membuat Arimbi tertawa.

"Iya, pak dokter." balas Arimbi.

"Selain itu, sebagai pengobatan tahap selanjutnya, kita harus keluar berdua." kata Haikal, setelah mengatakan itu ia berdehem, "mungkin bisa di mulai dari malam minggu besok." lanjut Haikal.

"Hah." seru Arimbi terkejut. "Secepat itu?" tanyanya.

"Iya, karena kamu itu sudah tahap kronis."

Arimbi dan Haikal tertawa bersamaan, setelah tawa mereka reda Arimbi berkata, "mulai besok rumah akan terasa sangat sepi."

"Nanti aku pinjamkan speaker." balas Haikal.

"Speaker? buat apa?" tanya Arimbi.

"Supaya kamu bisa dengar lagu dengan suara yang besar, biar nggak sepi."

Arimbi tertawa, "berisik namanya itu."

"Kalau begitu aku akan sering-sering main ke rumahmu, setelah aku selesai praktek. Kamu jangan bosan aku datangin." kata Haikal.

"Emangnya kamu punya waktu seluang itu?" tanya Arimbi.

"Akan aku usahakan seluang mungkin, nanti aku bakal bawa cemilan yang banyak." kata Haikal. "seperti ..."

"Kuaci." lanjut Arimbi.

"Wow, kamu masih ingat kesukaanku. Aaah aku terharu, terima kasih." kata Haikal tulus sembari memegang dadanya.

"Tentu saja, itu satu-satunya hal yang paling melekat di kamu." kata Arimbi.

"Karena kamu sudah menebaknya, aku akan bawa kuaci banyak-banyak."  kata Haikal.

Arimbi mencebik, "kamu bawa camilan kesukaanmu saja." katanya sewot.

"Yaaahh baiklah, aku akan bawa kue brownis dengan coklat premium." kata Haikal.

Arimbi menatap Haikal dengan tatapan terkejut.

"Aku masih ingat kue kesukaanmu, apalagi terkahir ketemu sama kamu waktu emak-emak kita arisan komplek, kamu nangis waktu brownisnya tante Hilda (salah satu emak-emak komplek teman mamanya Arimbi dan Haikal) potongan terakhirnya aku yang makan."

"Kamu sih, nggak kasi ke aku aja kuenya." kata Arimbi.

"Aku juga pengen, kamu kan sudah makan hampir setengahnya waktu itu." kata Haikal membela dirinya.

"ih, menjengkelkan sekali kamu waktu itu." kata Arimbi.

"Aku nggak akan minta maaf lo ya." kata Haikal.

"Kamu masih menjengkelkan sepertinya." kata Arimbi sewot, lalu ia mendesah pelan. "sepertinya keluar malam minggu besok bukan ide yang bagus." lanjut Arimbi.

"Eh, mana bisa, kita sudah deal ingat." kata Haikal cepat.

"Aku nggak ingat." kata Arimbi dengan wajah sedih.

"Nggak bisa, besok aku jemput." kata Haikal.

"Maaf ya, sepertinya kepalaku sedikit pusing, aku ke dalam dulu ya, assalamualaikum,  pak dokter."

"Waalaikum salam, Arimbi, Arimbi." panggil Haikal dengan suara di tahan, ia khawatir panggilannya akan membuat orang-orang menoleh ke arahnya. Haikal menggeleng pelan, lalu tersenyum.

***

Janji nggak senyum2 sendiri?

Blind DateWhere stories live. Discover now