Part 43

1.4K 308 26
                                    

Arimbi mengelus rambut Bagas lembut, ditatapnya wajah tampan itu, wajah yang selalu memenuhi pikirannya setiap waktu. Aroma parfum Bagas sungguh menenangkannya. Terlihat kerutan halus di dahi laki-laki itu, apakah selama ini ia bahagia tanpa dirinya? Apakah ia juga merindukannya?
Arimbi, terus menatap wajah itu, ingin mengukirnya dalam hati. Bagas lelap dalam pangkuan Arimbi, dengkuran halusnya terdengar.

Tidak terasa Bagas tertidur selama dua jam dan selama itu pula Arimbi menemaninya.

"Rimbi." Tiba-tiba Bagas terbangun dan meneriakkan nama Arimbi. Arimbi yang terkejut refleks memeluk Bagas.

Bagas menghela napas lega, "kupikir kamu sudah pergi." Bisik Bagas, ia memeluk Arimbi erat, seolah meyakinkan dirinya bahwa ia sedang tidak bermimpi.

"Maaf, kakimu pasti sakit ya?" Kata Bagas begitu sadar bahwa ia tertidur dipangkuan Arimbi.

"Sedikit." kata Arimbi sembari meregangkan ototnya.

"Terima kasih." Ucap Bagas.

Arimbi tersenyum kemudian mengangguk kecil. Mereka masih duduk di lantai, dan bersandar pada sofa yang ada dibelakangnya.

"Aku ingin minta maaf," kata Bagas. "Yang aku lakukan malam itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Harusnya aku memberitahumu semuanya, harusnya aku memintamu menungguku, bukan melepasmu." Kata Bagas.

Bagas menarik napas berat, bahkan malam itu kamu mengalami dua hal yang pasti sangat menyakitkan."

Air mata Arimbi menetes, ia menangis mengingat malam itu, malam terburuk disepanjang hidupnya. Kekasih dan Ayahnya meninggalkannya. Dadanya sesak mengingat semua itu. Bagas meraih tangannya, menautkan jemari-jemari mereka.

"Kemarin eyang sempat terkena serangan jantung dan sempat koma." Cerita Bagas lagi. "Aku menunjukkan bukti-bukti bahwa Tiara bukan gadis yang baik dan cocok untukku."

Arimbi menatap lurus ke arah Bagas, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bagas.

"Benar, dan pertunangan kami batal. Eyang sendiri yang membatalkannya." Kata Bagas, senyum bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Kita bisa bersama lagi, Rimbi. Aku yakin eyang akan merestui kita kali ini." Bagas mengatakannya dengan semangat yang tinggi.

Berbeda dengan Arimbi, ia sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan, wajahnya terlihat sedih, perlahan ia menarik jemarinya.

"Ada apa? Apa kamu ndhak bahagia?"

"Percuma, Gas. Aku ..."

"Aku ngerti, kamu pasti belum melupakan kesalahanku, ndhak apa-apa aku akan menunggumu memaafkanku, selama kamu ada disisiku." Kata Bagas.

Bunyi ponsel Arimbi berdering, memecah kesunyian diantara mereka. Arimbi meraih ponselnya dan menjawab panggilan itu.

"Halo." Kata Arimbi

Bagas terus memperhatikan Arimbi, ia tidak mau kehilangan menatap gadis itu meski hanya sedetik.

"Aku sedang di kafe Senja." Kata Arimbi membalas pertanyaan orang dibalik telepon.

"Baiklah, aku akan menunggumu di depan." Kata Arimbi menutup panggilan telepon.

Arimbi memasukkan ponselnya ke dalam tas, ia berdiri dan merapikan pakaiannya, begitu juga dengan Bagas.

"Kamu mau pergi?" Tanya Bagas, wajahnya terlihat sedih.

"Iya, aku harus pergi. Haikal akan menjemputku di depan." Kata Arimbi.
"Tolong jaga kesehatan, assalamualaikum." Kata Arimbi. Ia berbalik dan keluar dari ruangan Bagas. Bagas hanya bisa termenung, melihat punggung arimbi menghilang dibalik pintu. Ia duduk di sofa, ia memegang kepalanya yang kembali berdenyut, dadanya juga terasa sesak. "Aku harus mendapatkanmu kembali, Arimbi. Harus." Katanya pada diri sendiri.

Blind DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang