1. Puisi Pelik di Tengah Keramaian

3K 798 74
                                    

.
.
.

    Waktu itu adalah pertengahan musim semi di tahun 1914. Pagi yang lumayan terik untuk seseorang yang berpikir akan pergi minum teh di taman kota. Namun di tengah teriknya matahari, tampak seorang pemuda berlari melewati orang orang yang sedang berniaga, dia menuju dermaga di bibir pantai dan mendatangi seorang pria tua berumur 65 tahun yang sedang merapihkan jala yang akan dia gunakan untuk memancing.

  "Owen!" Teriaknya.

  "Aku hampir menyerah untuk menunggumu, Hongjoong. Pergi kemana saja kau?" Tanya Owen.

  "Mendengarkan penyair membaca puisi di taman kota." Balas Hongjoong sembari mendorong perahu menuju ke laut, mengingat jika Owen sudah terlalu tua untuk bisa melakukannya.

  "Oh, ya? Aku rasa kau sedang berbohong padaku." Kata Owen, "selain itu apa yang kau lakukan?"

    Hongjoong menggeleng. "Tidak ada, sungguh!"

  "Jangan membuatku memaksamu untuk mengakuinya." Kata Owen.

    Hongjoong akhirnya menghela nafas sambil terus mendayung perahu itu menuju laut, "aku mengambil sebuah apel dari seorang penjual."

  "Sudah kuduga," Owen nyaris berteriak, "kembalilah ke darat sekarang dan bayar apel yang kau curi itu."

  "Astaga, Owen! Ini hanya sebuah apel! Aku bahkan mengambil yang sudah hampir busuk, tak akan ada yang membeli apel yang nyaris busuk ini, daripada dibuang bukankah lebih baik aku makan?" Kata Hongjoong.

  "Kau tak akan tau jika ada orang yang mau membayar apel itu walau hanya akan digunakan untuk memberi makan kuda." Owen berucap sambil memberikan beberapa keping uang pada Hongjoong, "kembali dan bayar apel yang kau curi. Aku tak pernah sekalipun mengajarimu hal seperti ini, lebih baik kau mati kelaparan daripada mencuri."

    Mendengar itu, Hongjoong berdecak kesal, dia menceburkan diri ke laut dan berenang menuju daratan, menuruti apa kata pria tua yang telah memberinya nama dan membesarkannya. Sampai di bibir pantai dengan keadaan basah kuyup, Hongjoong mengacak acak rambutnya sambil berjalan menuju pasar.
 
 
    Musim semi hangat dengan desas desus soal politik yang katanya sedang tidak kondusif antara negara negara di Eropa. Hongjoong memasang baik baik telinganya, mendengarkan beberapa bangsawan membicarakan soal kemungkinan perang yang akan terjadi tidak lama lagi. Mengingat imperialisme yang begitu pekat diantara negara yang lebih kuasa di beberapa daerah benua Afrika dan Asia, Hongjoong cukup cerdas untuk membayangkan seperti apa persaingan yang tengah berlangsung.
 
    Perang, Hongjoong tak begitu tertarik, malahan dia membencinya—yah, semua orang benci perang, kan? Perang hanya menimbulkan korban jiwa, kemiskinan, kelaparan, penderitaan. Perang hanya memberikan ketenaran sesaat bagi mereka yang memenangkannya. Itulah mengapa, Hongjoong membenci strata sosial. Hongjoong terang terangan menentang pemerintahan dan dia menyerukan anarkisme untuk dirinya sendiri.

    Menurut Hongjoong, jika seandainya semua manusia memiliki derajat yang sama persis, maka perang untuk merebutkan sebuah kekuasaan tak akan pernah ada. Korban akibat perang hanya akan dikenang dibalik bayang bayang para pemimpin/Raja yang berhasil memandu negaranya untuk berperang. Menjijikan. Tidak Rasional. Hanya membawa kesengsaraan.

   Sampai di kedai yang tadi Hongjoong curi apelnya, dengan sopan Hongjoong memberikan beberapa keping uang yang tadi Owen berikan. Si penjual memarahi anak muda itu dan memperingatinya untuk tidak melakukan hal itu lagi. Hongjoong mengangguk malas dan segera pergi. Suasana hatinya sangat buruk untuk kembali ke laut mendatangi Owen, jadinya dia hanya memutari kota, mengamati keramaian di tahun 1914.

 
  "Elysium!"

 
    Telinga Hongjoong menangkap sebuah kata yang belum pernah dia dengar dari seorang penyair di pinggir jalan. Penasaran, Hongjoong mendatangi kerumunan yang juga mendengarkan apa yang dikatakan oleh si penyair.
 
 
  "Hina menerkam, tanah dipijak. Meludah darah, tanpa akal sehat. Gelap mendekap, bumi digoncangkan. 'Elysium!' Teriak mereka. Lewat tenggorokan yang dicekik oleh hawa nafsu para pemimpin jalan neraka. Menutup mata atas kemalangan tiada tara. Injaklah! Injaklah kepala mereka! Sehingga taulah diri rasanya diperbudak. 'Utopia!' Teriak mereka. Lewat tenggorokan yang digorok oleh tajamnya ego para pengait kesengsaraan kekal."

[✔] Klub 513 | Long Journey | Ep.1 : Desire (Departure)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें