6. Dan Tulang Hatinya Patah

1.5K 604 32
                                    

.
.
.
 
 
• 24 Juli 1914
 
     Saat itu pukul delapan tepat ketika Yunho mengetuk pintu kamar Ayahnya. Hatinya telah berkecamuk sejak malam kemarin, dengan banyak kemungkinan buruk yang memperburuk prasangka nya pada hal ini. Ayahnya kemarin menitipkan pesan pada Marie jika Yunho pagi ini harus menemuinya untuk membicarakan hal penting. Hal penting apa yang harus Yunho dengar dari manusia berpredikat ayahnya ini sampai dia dengan khusus meminta untuk pergi ke ruang kerjanya?

     Setelah mendapatkan perizinan untuk masuk, Yunho dengan sopan membuka pintu dan menemukan ayahnya sedang duduk d meja kerjanya dengan wajah cemas, berulang kali perhatiannya teralihkan dari kertas di tangannya menuju telepon di ujung mejanya, seakan sebentar lagi ada panggilan yang masuk.

  "Ayah, saya disini, apakah ada masalah?" Tanya Yunho.

  "Kau akan tahu sebentar lagi," sang ayah menyeringai, "pelaku propaganda ini akan segera ditangkap, dan ketika itu terjadi, kaulah yang harus menelpon Yang Paling Agung."

     Mendengar itu, Yunho jelas terkejut. "Kenapa harus saya?"

    Ayahnya berdecak kesal karena harus menjelaskan alasan itu kepada putranya. "Kau harus  yang melaporkan bahwa pelaku itu telah ditangkap, agar Yang Paling Agung menaruh perhatian padamu! Kenapa aku harus menjelaskannya lagi?!"

  "Untuk apa itu semua, Ayah? Kenapa saya harus mendapat perhatian dari Yang Paling Agung? Bukankah kita sudah sepakat jika saya tak akan mengikuti jejak Anda? Saya ingin menolong orang orang yang—"

    Ayahnya membanting vas bunga di mejanya hingga pecah berkeping-keping. "SIAPA YANG SEBENARNYA HENDAK KAU TOLONG ITU, HAH?!

—Kau bahkan tak bisa menolong dirimu sendiri, Yunho! Aku heran padamu! Telah aku kirim dirimu ke sekolah yang paling baik di negeri bahkan benua ini, tapi kau tetap tak bisa membuka matamu?! Siapa yang hendak kau tolong itu? Siapa yang membutuhkanmu untuk menolong mereka?! Di dunia ini, manusia telah belajar untuk menolong diri mereka sendiri, dan satu satunya yang bisa kau lakukan adalah menolong tanah airmu! Perang telah ada di depan mata! Dan kau akan benar benar mati bersama kaum melarat jika tidak memiliki orang besar seperti Yang Paling Agung dipihakmu."
  
  
  "Saya bahkan lebih memilih mati daripada memiliki hal kotor itu di pihak saya."
  
 
leher Yunho seakan dicekik, nafasnya tercekat di tenggorokan ketika meneriakkan kalimat itu di dalam hatinya. Tidak, dia tidak bisa. Karena ketika Yunho memikirkannya kembali, dia malah balik bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia benar benar telah siap mati? Jawabannya adalah tidak. Dia bukan Hongjoong yang hubungannya dengan kematian sedekat kopi dan ampasnya—yang bahkan telah lebih dari siap menjumpai kematiannya. Bukan pula sang Ibu yang telah menghadap kematiannya dengan dagu terangkat. Yunho hanya bangsawan muda beruntung yang belum pernah dibiarkan sebuah jarum menusuk jemari halusnya.

  "Ayah, mereka menderita." Yunho berucap lirih, sangat lirih, hingga jika ada sebuah suara lain sedikit saja ketika Yunho mengatakan itu, maka ayahnya tak akan mendengarnya. "Mereka menangis, Ayah.. menjerit kelaparan, kedinginan, ketakutan.. mereka sengsara. Saya ingin membantu mereka, hanya itu."

    Suara tawa merendahkan terdengar, "Bagaimana kau mau membantu mereka? Kau bahkan tak memiliki apa apa jika saja aku melepas nama Elsworth dari namamu. Kau akan berebut makanan dengan para anjing liar dan berakhir mati kelaparan seperti mereka tanpa nama keluargamu itu."

     Mendengar itu, Yunho merasa seakan disambar petir di pagi hari. Hatinya terenyuh, terasa sangat nyeri sampai Yunho kesulitan bernafas untuk beberapa saat. Seluruh tubuhnya tremor hebat, tangan dengan jemari lentik miliknya itu terangkat menutup mulut karena Yunho rasanya ingin muntah. Yunho tidak tahu apakah dia harus menyesalinya, menyesal mengatakan hal itu kepada Ayahnya. Dia tak pernah seperti ini, dia selalu berpikir dua kali sebelum bicara, namun.. hal yang jarang ini terjadi begitu saja.

[✔] Klub 513 | Long Journey | Ep.1 : Desire (Departure)Where stories live. Discover now