12. Kepedihan Atas Ketidaksempurnaan

1.4K 564 16
                                    

.
.
.

  "Beyah, kau ingin makan apa? Aku akan keluar dan mencarikannya untukmu." Kata Mingi lagi, masih dengan nada suaranya yang tenang, namun anehnya itu menambah rasa malu pada dirinya sendiri akibat rekasi itu.

  "Kau lelah? Kau terlalu banyak minum, Beyah. Tak apa, aku akan membereskannya untukmu." Mingi terus bicara sambil menunduk dan memunguti botol botol arak yang berserakan disana sini. Dia berhati hati, takut kakinya terkena genangan arak yang tak sengaja membasahi lantai itu, Mingi tak mau terpeleset seperti hari hari lalu.

    Saat membersihkan botol botol itu, tiba tiba hujan turun diluar rumah. Mingi menengok sebentar keluar, tiba tiba teringat soal sirkus itu di benaknya, perasaan khawatir dan senang menjadi satu dalam hatinya. Khawatir tentang keselamatan orang orang dan senang karena pamannya itu mungkin saja tak mendapat banyak pengunjung malam ini, karena siapa pula yang mau pergi ke sirkus yang dekat dengan sungai? Tanahnya becek dan air sungai bisa naik kapan saja.

    Selesai merapihkan kekacauan yang dilakukan Ibunya, Mingi kembali berdiri di depan Beyah, menatapnya seperti ketika wanita itu menatap sosoknya—Ratu Anne. Satu lengannya ada di atas perut dan satu lagi menggantung, jemarinya seakan beristirahat di atas lantai. Mukanya sedikit bengkak, tak mengubah betapa cantik wanita itu namun membuatnya sedikit terlihat lebih muda. Bukan lebih muda dari umurnya—karena Beyah sendiri masih tiga puluh sembilan tahun—maksudnya lebih muda daripada apa yang telah dilakukan alkohol kepada tubuh wanita seusianya.

  "Beyah? Kau marah?" Mingi kembali memanggil.

    Dan tidak ada jawaban seperti sebelumnya. Bibir merah karena polesan lipstik itu sedikit terbuka, menunjukkan giginya yang sudah menguning dan kerontang. Ini seperti Beyah sedang ada di tengah para ilmuwan yang menjadikannya sebagai objek penelitian saat nyawa terlepas darinya.

    Mingi telah membayangkan momen ini sekarang. Terkadang ketika kau cukup membenci seseorang, kau tak bisa melakukan apapun selain beranggapan bahwa kau baru saja bangun dari tidur malam yang dalam, membayangkan hidup apa yang mereka para manusia temui setelah kematiannya. Mingi berbeda, dia membayangkannya dengan lebih dramatis—benar benar jauh lebih dramatis.

    Matanya tak lepas dari Beyah untuk beberapa saat, menunggu untuk melihat jika ibunya itu mungkin hanya kesurupan. Dia mengambil beberapa langkah menuju Beyah dan dia terhenti ketika melihat entah sejak kapan bibir itu mengeluarkan cairan putih berbusa bercampur darah, seakan baru ada gunung yang meletus dari dalam diri Beyah, sehingga isi perutnya melesak untuk keluar dari lambungnya.

    Setelah Mingi melihat itu, kakinya lemas tak berdaya, dia bersimpuh di depan Beyah, menerima kenyataan bahwa wanita itu—bagaimanapun kelakuannya sebagai pemabuk—telah meninggalkan Mingi menghadapi dunia ini sendirian. Walau Mingi juga bukanlah seorang anak yang mampu membuat ibunya bahagia atau mungkin merasa sebagai anak yang berharga, tapi setidaknya, Mingi merasakan sesuatu. Sebuah nyeri dada yang dulu pernah ia rasakan sekali selama hidupnya, ketika kematian ayahnya. Nyeri yang kemudian membuatnya menangis.

    Mingi menangisi hidupnya. Dia bahkan tak lagi bisa membayangkan putaran roda kehidupan manusia yang lebih buruk dari miliknya. Dulu dia bahagia atau mungkin sempat bahagia, sebelum semua berubah menjadi terlalu mengerikan untuknya. Kematian Beyah menjadi pertanda bahwa penjara yang mengikatnya kini telah kehilangan kuncinya dan Mingi akan selamanya berada di dalamnya.

   Dia bangkit lalu berjalan keluar rumah, dia tak bisa berpikir jernih sama sekali, namun di ujung kewarasannya, yang pasti Mingi membutuhkannya sekarang, membutuhkan apa yang Hongjoong sebut sebuah 'belas kasihan'. Air hujan membasahi baju lusuhnya, rambut merahnya, membasahi mata dan hatinya yang kering kerontang.

[✔] Klub 513 | Long Journey | Ep.1 : Desire (Departure)Where stories live. Discover now