Part 22: Wedding Preparations

4.1K 229 18
                                    

Keenan

Satu persatu manusia yang hendak meninggalkan bandara setelah menyelesaikan perjalanan mereka tak luput dari penglihatanku, namun sosok yang aku tunggu sejak satu jam yang lalu tidak ada diantara mereka. Tarisha memberitahuku untuk menjemputnya di bandara jam dua siang jadi kami bisa berangkat ke butik untuk fitting baju bersama, seharusnya jadwal kami fitting minggu lalu tapi Tarisha mendadak mengeluh tidak enak badan yang membuat kami terpaksa meminta reschedule untuk fitting. Harusnya hari ini aku punya jadwal terbang ke Shanghai yang juga harus terpaksa bertukar dengan pilot lain agar kami bisa segera fitting baju, menunggu jadwal kami sama-sama kosong lagi akan memakan waktu tiga minggu sedangkan tanggal pernikahan kami hanya tinggal menghitung bulan sehingga aku harus mengalah sebab Tarisha tidak bersedia mengorbankan jadwal terbang yang katanya sudah oke sekali itu.

Perutku mulai keroncongan mengingat aku memang belum makan siang. Saat sedang mempertimbangkan untuk pergi mencari makan dulu, sebuah suara familiar menyapa pendengaranku.

"Ken!"

Aku tersenyum, itu dia. Tarisha berjalan dengan anggun sembari menyeret koper besarnya kearahku dengan seulas senyum manis dari bibirnya yang dipoles lipstik merah itu.

"Hi handsome, udah lama nunggu?" Tarisha memelukku dan kubalas memeluknya

"Satu jam," kataku jujur

Raut wajah Tarisha berubah sedih, "Maaf, ya, tadi landing-nya antri habis itu aku diajak makan sama kru lain dan lupa enggak ngabarin kamu"

"It's okay," ujarku sambil menepuk punggungnya pelan, tidak tega melihat raut wajah bersalahnya yang justru terlihat menggemaskan karena kedua bola matanya yang membulat itu

Duh, gemes banget, sih. Aku ingin mengacak rambutnya seperti yang dilakukan anak-anak muda tapi perempuan yang masih di pelukanku ini bisa berubah menjadi singa betina kalau aku berani menyentuh french twist-nya yang masih rapi paripurna bahkan setelah terbang berjam-jam. Berubah jadi singa betina masih bagus, kalau dia sampai berubah pikiran soal rencana pernikahan kami bisa gawat.

"Tarisha, duluan, ya. Capt, duluan"

Kami serentak menoleh kearah seseorang yang barusan menyapa kami.

"Thanks for today's flight, Vin," balas Tarisha

Calvin, first officer yang sudah bekerja hampir empat tahun di maskapai ini. Aku sedikit cemburu dan was-was jika Tarisha terbang bersamanya karena Calvin masih muda, tampan, dan berasal dari keluarga yang berpengaruh. Apalagi pernah ada desas-desus bahwa Calvin yang sedang mabuk mengakui kalau dia menyukai Tarisha yang saat itu sudah menjadi pacarku.

"Kamu terbang sama dia?" tanyaku sambil melonggarkan pelukan

Tarisha mencubit pinggangku gemas, "Enggak usah cemburu-cemburu, ya. Bentar lagi aku jadi istri kamu"

Mendengarnya mengucapkan "istri kamu" membuat rasa cemburu dan was-was yang menghampiriku semenit yang lalu langsung hilang tak bersisa.

"Udah, yuk, ke butik," Tarisha merangkul lenganku

"Sha, mau nemenin aku makan dulu bentar, enggak? Laper, nih, belum makan waktu berangkat kesini," ujarku

"Kenapa enggak makan dulu?" dia balas bertanya

"Rencananya mau ajak kamu makan bareng, ternyata kamu udah makan sama kru," jawabku

"Hm, gimana ya, Ken, ini udah sore dan bentar lagi jam pulang kantor pasti macet banget. Aku takut pas sampe sana udah keburu tutup itu butiknya, nanti malah kita reschedule lagi dan kamu juga cari-cari tukeran jadwal lagi," ujar Tarisha

My Perfect Random ManWhere stories live. Discover now