Part 3 : Meet

4.8K 317 1
                                    

Kirana

Berada ribuan kaki di atas permukaan laut membuatku tidak bisa bebas melakukan sesuatu. Masih tersisa satu jam lagi sampai pesawat ini mendarat di Jakarta.

Meskipun begitu, sebenarnya aku menyukai pesawat. Saat kecil aku selalu takjub ketika melihat pesawat sedang terbang. Bagaimana bisa benda sebesar ini terbang begitu tinggi?

Berada di dalamnya terasa menakjubkan bagiku. Meskipun kenyataannya aku sudah sering sekali bepergian dengan pesawat, rasanya masih tetap sama. 

Apalagi ketika duduk di sebelah jendela seperti saat ini. Memandang langit cerah yang luas tak terbatas serta awan-awan putih yang mirip cotton candy memberikan ketenangan bagiku. 

How does it feel to touch that flying cotton candy?

Saat sedang asyik mengagumi pemandangan di luar sana, suara seorang pramugari menarik atensiku. Dia mencari seorang dokter dan ada kepanikan dalam nada bicaranya.

"I'm a doctor, what's going on?" tanyaku

Dia menghela nafas lega, tapi wajahnya masih menyiratkan kepanikan.

"Someone pass out, please follow me, Miss"

Aku mengikuti pramugari itu menuju kabin di kelas ekonomi. Dia membawaku pada seorang bapak-bapak yang tidak sadarkan diri di kursinya.

"Kami sudah mencoba melakukan pertolongan pertama tapi tidak ada respon sama sekali," ujar pramugari itu

"Sejak kapan dia pingsan?" tanyaku sambil memeriksa keadaannya

"Sekitar sepuluh menit yang lalu. Sebelumnya rekan saya melihat beliau bernafas berat dan nampak kesakitan," jawab pramugari itu

"Pernafasannya sangat sulit. Saya harus melakukan bedah kecil untuk membuatnya bertahan setidaknya sampai kita mendarat" 

Aku menoleh ke sekeliling mencari tempat yang bisa digunakan untuk melakukan operasi darurat. Sayangnya, semua kursi sudah penuh.

"Saya butuh tempat yang agak luas dan tertutup untuk membaringkan dia," ujarku

Pramugari itu nampak kebingungan.

"Ada kabin first class di pesawat ini, kan?" tanyaku

Pramugari itu mengangguk dan nampak semakin bingung.

"Saya akan menggunakan kabin itu untuk melakukan bedah ini"

Ucapanku itu sukses membuat si pramugari terperangah. Mungkin dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kabin first class dengan segala kemewahan dan kenyamanannya akan digunakan sebagai tempat untuk melakukan operasi.

"Tolong bantu saya membawanya kesana, saya akan mengambil peralatan yang saya butuhkan terlebih dahulu," ujarku

"Tapi, kami harus meminta izin pada kapten lebih dulu," kata si pramugari

"Oke, tapi kita tidak punya banyak waktu," ucapku

Pramugari itu mengangguk dan segera pergi menuju kokpit untuk menemui kaptennya.

Siapapun kaptennya, akan sangat egois kalau dia tidak mengizinkan.

Keenan

Berhubung pesawat sedang dalam keadaan stabil, aku memutuskan untuk keluar dari kokpit dan melihat sendiri kondisi yang sebenarnya.

"Apa kondisinya sangat parah?" tanyaku pada seorang perempuan yang sedang memunggungiku yang aku yakini sebagai si dokter

Dia berbalik dan detik itu juga menghentikan ucapannya, bibirnya langsung terkatup ketika melihatku.

Dia adalah perempuan sinting yang membuat Tarisha marah besar padaku tempo hari.

Aku mendengus, tidak percaya kalau dia adalah dokter. Pasti dia benar-benar sinting dan menjadi dokter adalah salah satu imajinasinya sehingga sekarang ia mengaku-ngaku sebagai seorang dokter.

"Kamu yakin dirimu dokter?" ucapku sinis

Perempuan itu nampak tersinggung. Ia merogoh saku kemejanya dan menyodorkan sebuah ID card kepadaku.

Aku membaca ID card dimana tertera sebuah nama disana.

dr. Kirana Anindita Malik, Sp.BTKV

"Jadi, apakah aku boleh menggunakan kabin first class-nya, Kapten?" tanyanya

"Apa kondisinya separah itu?" aku mengulang pertanyaanku

"Dari gejalanya, aku yakin dia menderita penyakit paru obstruktif kronis. Pernafasannya sangat sulit, jika dibiarkan terlalu lama dia bisa kekurangan oksigen dan tidak terselamatkan. Aku harus melakukan tracheostomy agar dia bisa bernafas dengan baik setidaknya sampai pesawat ini mendarat di Jakarta," jelasnya

"Tidak bisa dilakukan di tempat lain saja?" tanyaku

Dia menggeleng, "Saya butuh tempat yang agak luas agar bisa memastikan posisi tubuh pasien benar-benar lurus karena jika posisi tubuhnya tidak lurus, ada kemungkinan selang udara yang akan saya pasang justru melukai saluran pernafasannya dan itu berbahaya. As you can see, semua seat yang ada disini sudah penuh. Lagipula disana lebih tertutup jadi penumpang lain tidak akan merasa terganggu"

Aku berpikir sejenak untuk memutuskan memberi izin atau tidak. Sejujurnya, ingin sekali aku membalas perbuatannya tempo hari dengan tidak memberi izin, namun penumpang itu adalah tanggung jawabku. Akhirnya, ku putuskan untuk memberinya izin.

"Kamu butuh apalagi?" tanyaku

"Dua orang pramugari yang tidak takut darah dan pengharum ruangan yang banyak. Saya tidak mau ada yang panik atau muntah-muntah karena mencium bau darah" 

Setelah membawa penumpang itu dan memposisikannya sedemikian rupa sesuai arahannya, aku sempat meneliti perempuan itu ketika sedang mempersiapkan diri dengan mengenakan sarung tangan, masker dan mengeluarkan pisau kecil serta perlengkapan lain yang tidak ku ketahui.

Sedikitpun dia tidak terlihat seperti perempuan sinting yang akan tiba-tiba mengaku sebagai pacar orang di tempat umum.

Kami bersitatap sebentar.

Dia tersenyum, "Thank you, captain!"

My Perfect Random ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang