Part 23: Being Honest

2.8K 191 8
                                    

Kirana

Tumben ada paket, pikirku sambil membolak-balik kotak kecil berwarna merah muda dengan pita merah yang baru saja ku ambil dari resepsionis. Tidak ada nama pengirim yang tertera disana, hanya ada namaku sebagai penerima. Aneh, perasaan aku tidak pernah membeli sesuatu menggunakan alamat rumah sakit.

Sambil menyandar di dinding lift, aku berusaha menerka siapa pengirim paket ini. Apa mungkin Rico? Ah, tidak mungkin. Pria itu pasti akan datang langsung padaku jika ingin memberikan sesuatu. Ataukah Lyra? Sesuatu sebagai permintaan maaf mungkin? Tapi, rasanya tidak juga. Perihal urusan meminta maaf, kami berdua sebelas dua belas, sama-sama gengsi untuk meminta maaf lebih dulu.

Ketika tiba di lantai empat, lift berhenti dan perlahan terbuka. Awalnya, aku mengacuhkan siapapun itu yang akan masuk sampai sebuah suara yang ku hafal diluar kepala menyapaku.

"Kirana, long time no see?"

"H-hai.." aku terbata-bata sambil berusaha menyembunyikan rasa panik dibalik senyuman palsu yang ku yakin terlihat sangat canggung

Sial. Kenapa harus bertemu dengannya disini? Tidak ada kesempatan untukku menghindar kali ini. Sejak pria itu memintaku untuk kembali padanya, aku memang sengaja menghindar karena setiap kali kami bertemu ia selalu menanyakan kesediaanku untuk kembali bersamanya sementara aku tidak pernah punya jawaban untuk pertanyaan itu.

"Kamu kemana aja? Kok lama enggak kelihatan?" tanya Rico yang kini berdiri menjulang dihadapanku

"Enggak kemana-mana. Lagi sibuk aja," aku berbohong

"Fine, karena sepertinya kamu sangat sibuk, bagaimana kalau kita buat jelas saja sekarang?"

Damn, here we go again.

"Apa?" tanyaku pura-pura tidak memahami arah pembicaraan ini

"Hubungan kita. Ayo mulai dari awal lagi, bagaimana?"

"Rico, tapi-"

Pria itu mencengkeram pelan kedua bahuku "Look at me, Rana. I still love you, I do. Don't you see that?"

Sesuai permintaannya, aku menatap dalam kedua manik mata dengan iris hitam kelam itu. Ya, aku bisa melihatnya. Melihat kesungguhan dan perasaannya yang masih ada untukku. Namun, setelah melihatnya, aku justru merasa hambar. Alih-alih tersentuh oleh kesungguhannya, aku malah semakin ragu untuk kembali padanya.

"Bagaimana?"

"Saya butuh waktu. Ini tidak mudah untuk saya"

"Dua minggu lebih kamu menghindar dariku dan sekarang kamu meminta waktu lebih? Apa yang membuat kamu sulit buat terima aku lagi? I know that you still love me"

"Apa saya terlihat seperti itu di matamu?"

Ucapanku barusan membuat Rico bergeming. Pria itu menatapku semakin dalam. Kedua bibirnya membuka, bersiap mengucapkan sesuatu. Namun, suara dentingan lift yang menandakan pintu terbuka mengurungkan niat pria itu.

Di depan sana, ada Miranda yang terdiam kaget melihatku berdua di dalam lift bersama Rico. This is it, kesempatan untukku melarikan diri sudah ada di depan mata.

"Mir, pas banget ketemu disini, katanya lo mau diskusi sesuatu sama gue, kan?"

"Eh?"

Tanpa menunggu Miranda memahami maksud tersiratku, aku segera melangkah keluar dari dalam lift dan menyeret perempuan yang masih mempertahankan raut tidak mengerti itu ke salah satu lorong.

"Lo kenapa, sih? Gue mau ambil surat persetujuan cuti malah diseret kesini"

"Thank God. Untung ada lo, gue jadi bisa kabur," ujarku yang akhirnya bisa bernafas lega

"Kabur? Kabur dari Rico?" tanya Miranda yang aku jawab dengan anggukan singkat

"Kenapa lo kabur dari dia? Atau, ini ada hubungannya dengan perceraian Rico dan istrinya?"

"Lo udah tahu dia mau cerai?"

"Shecyl kasih tahu gue. Ran, itu bukan perbuatan lo, kan?" Miranda menatapku dengan tatapan penuh selidik

Aku menggeleng, "Enggak, sumpah. Trust me, bukan gue dibalik perceraian mereka tapi Rico sendiri"

"Terus kenapa kalian berduaan di lift tadi?" Ujar Miranda masih dengan tatapan menyelidiknya, sepertinya perempuan ini masih belum sepenuhnya percaya padaku

"Enggak sengaja. Serius. Kalau tahu bakal satu lift sama dia mending gue pake tangga"

"Rico tiba-tiba mau cerai dan lo tiba-tiba mati-matian ngehindarin dia. Pasti ada sesuatu, kan?"

"Dia ngajak, atau lebih tepatnya maksa, buat balikan sama gue"

Aku menceritakan semuanya pada Miranda, mengenai mantan pacarku itu yang hendak meninggalkan anak istrinya demi kembali bersamaku dan dirinya yang selalu mendesak untuk memberi jawaban --yang sesuai keinginannya-- setiap ada kesempatan sehingga aku harus mati-matian cari cara untuk menghindar.

Mendengar ceritaku, Miranda hanya geleng-geleng kepala. "Enggak nyangka gue, Rico bisa segila itu"

"Enggak paham juga gue"

"Ran?"

"Hm?"

"Be honest with me. Selain kaget, apa yang lo rasain waktu tahu Rico mau tinggalin anak istrinya demi lo? Lo.. seneng, enggak?"

"Honestly, gue enggak ngerasain apa-apa. Bahkan setelah tahu dia beneran masih cinta dan mau serius sama gue, enggak ada sedikitpun perasaan bahagia dalam diri gue. Justru gue malah jadi bingung sama diri gue sendiri"

"Bingung?"

"I used to be deeply in love with him. Bertahun-tahun gue berusaha buat hapus rasa sakit hati dan kecewa gue karena pernikahan dia, tapi gue selalu gagal. Bertahun-tahun gue berusaha buat move on juga enggak pernah berhasil. Bahkan, ngelakuin hal gila cuma demi menghapus bayang-bayang dia di hidup gue pun gue lakuin. Sekarang, dia yang datang ke gue. Bukannya seharusnya gue seneng, ya? Apa yang gue selalu inginkan selama ini bakal terwujud dengan mudah. Tapi, kenapa gue malah ragu?"

Miranda menyentil dahiku cukup keras, raut wajahnya terlihat sangat jengah.

"Sakit, Mir!" protesku

"Let's make it simple. Lo mau balik sama dia atau enggak? Enggak perlu ada penjelasan, cuma "ya" atau "tidak"," ucap Miranda serius

Aku diam, berusaha untuk berpikir dengan lebih jernih dan simpel --sesuai saran Miranda-- sambil merasakan baik-baik kemana hatiku sekarang. Hingga akhirnya, aku sampai pada satu jawaban.

"Enggak"

My Perfect Random ManWhere stories live. Discover now