LIMA BELAS

562 48 1
                                    

Boruto merendamkan kakinya ke dalam air sungai yang mengalir dari air terjun. Dinginnya malam tak membuat laki-laki itu berubah pikiran untuk mengeluarkan kakinya dari air sungai sendingin es itu.

Mata biru sedalam samudra itu menatap bayangannya sendiri di air. Boruto menatapnya lama, hingga ia mendongak menatap ribuan bintang di atasnya. Tangan Boruto terulur mengambil air kemudian membasuh wajahnya beberapa kali.

"Apa yang sebenarnya kulakukan?" Gumamnya. "Apa yang kulakukan sudah benar?"

"Sasuke-san, melakukan hal seperti ini juga untuk menyelamatkan Konoha dari musuh." Boruto memejamkan kedua matanya. Menghembuskan napas panjang.

"Huh, terserah saja. Aku hanya ingin melakukan apa yang ingin kulakukan."

"Boruto."

Boruto menegang. Suara itu, ia merindukannya. "Ayah,"

Naruto menatap anaknya sayu. Entah apa yang sudah dipikirkan Boruto selama ini. "Pulang sekarang, misimu sudah selesai." Ujar Naruto lembut, namun tatapannya tajam.

Boruto mengalihkan pandangannya. "Aku melakukan ini bukan semata-mata hanya misi tapi aku juga melakukannya untuk diriku sendiri." Jelas Boruto. "Aku ingin menjadi seperti Sasuke-san."

"Kau tidak pantas, Boruto." Ucap Naruto. "Kalian berbeda."

Boruto berdiri. "Apa maksud Ayah?"

"Kau adalah kau dan Sasuke adalah Sasuke." Jelas Naruto lagi. "Kau bisa menjadikan Sasuke sebagai tujuan impianmu tapi buatlah impian juga untuk melampaui gurumu kelak."

"Itu bukan urusan Ayah." Balas Boruto ketus.

Naruto menghela napas. "Dasar kau ini. Kita bicarakan di rumah, ayo..." ajak Naruto lembut.

Boruto memundurkan langkahnya. "Tidak. Ayah pulang saja sendiri."

"Boruto, desa seperti itu bukan karena kesalahanmu. Itu sebuah kecelakaan." Ucap Naruto lagi memberi pengertian. Ia mengetahui perasaan anaknya itu. Ia pernah merasakannya, dulu.

"Ayah kehilangan Kurama, kehilangan desa, kehilangan segalanya karena aku!" Ucap Boruto menggebu. "Aku tidak bisa kembali ke desa selamanya."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Karena aku membuat pemimpin dan desanya di ambang kematian."

Naruto tersenyum tipis. "Kematian? Aku masih hidup, loh. Jangan membahas hal semacam itu."

"Cih, dulu aku juga kau anggap begitu kan?"

Naruto menghela napasnya pelan, tangannya terulur mengusap surai kuning anaknya yang mirip dengannya. "Boruto, kita memang hidup di zaman yang berbeda. Peperangan di generasi Ayah lebih menyeramkan daripada sekarang dan hal yang terjadi sekarang, bagi kami adalah hal yang biasa." Jelas Naruto. "Kau jangan merasa bersalah begitu, dong."

"Soal kematian itu hal yang tidak perlu untuk dibicarakan. Kematian, kehidupan dan perjalanan seseorang tak ada yang tahu. Makanya mereka percaya takdir." Lanjut Naruto lembut. "Jalani takdirmu bersama Ayah dan kami semua di Konoha."

Boruto mengepalkan tangannya. "Ayah maaf tapi aku benar-benar tidak bisa kembali. Aku harus menyelidiki sesuatu. Kumohon... didekat sini ada desa yang baru saja hancur. Aku ingin menyelidikinya." Ucap Boruto serius. Naruto menatapnya.

"Sai sudah melaporkan padaku di perjalanan saat aku kemari, kau jangan khawatir. Aku yang akan meng-"

"Kumohon... aku benar-benar meminta izin dari seorang Hokage. Bukan sebagai anaknya tapi sebagai anggota dari Konoha." Boruto mendongak. Ia menatap manik mata Naruto dengan sungguh-sungguh.

This's Our Story : Why Don't You Miss Me? || UZUMAKI BORUTO & UCHIHA SARADAWhere stories live. Discover now