20

12 105 83
                                    

Suasana di desa dengan di kota memang sangat jauh berbeda. Letak rumah Ayesha yang jauh dari jalan raya, membuat suara berisik kendaraan yang bertalu-talu tidak terdengar memekakkan telinga. Apa lagi di pagi hari, sebagaimana yang biasanya terjadi di kota. Pagi-pagi begini, yang terdengar hanya suara burung yang berkicau, serta hanya suara beberapa kendaraan saja yang kebetulan melintas di depan rumah. Bisa dibilang, rasanya lebih nyaman daripada di kota yang terbilang berisik.

"Jadi pagi ini kamu mau langsung ke rumah orang tua kamu?" Arwin memulai pembicaraan setelah sekian lama mereka diam.

Saat ini keluarga Ayesha ditambah dengan Alfariel, tampak sedang menikmati sarapan pagi nasi goreng Ayam buatan Ayesha. Ayesha juga menyediakan soto betawi yang sengaja ia buat sebagai pencuci mulut atau bisa juga dimakan dengan nasi. Pagi-pagi sekali tadi Ayesha sudah bangun untuk menyediakan sarapan keluarganya. Kintan sama sekali tidak membantu. Itulah Kintan, jika sudah ada Ayesha di rumah, seluruh pekerjaan di rumah akan ia alihkan sepenuhnya kepada Ayesha tanpa campur tangannya sedikitpun.

"Iya, Om. Selesai sarapan ini saya mau langsung ke rumah. Udah kangen juga sama keluarga di rumah." Alfariel menjawab sembari tersenyum. Alfariel makan dengan sangat lahap, ini adalah kedua kalinya Alfariel menambah karena nasi gorengnya benar-benar sangat lezat. Sampai-sampai ia memiliki sebuah ide yang akan ia utarakan kepada Ayesha saat di Jakarta nanti.

"Kamu ikut sama Nak Alfa?" Arwin menoleh ke arah Ayesha yang tampak diam.

Ayesha menoleh sejenak, lalu mengangguk, "Iya Yah. Di Jakarta Yesha emang udah bilang sama Alfa kalau Yesha mau nemenin Alfa ke rumahnya. Lagian juga nggak jauh dari sini. Nanti siang, Alfa antar Yesha pulang." Ayesha menjelaskan disusul dengan anggukan oleh Alfariel.

"Siapa yang mengizinkan kamu pergi?" tiba-tiba kintan membuka suara, membuat keadaan menjadi hening selama beberapa dentingan jarum jam. "Masih ada banyak kerjaan rumah yang harus kamu selesaikan. Kamu balik ke sini bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk bantu-bantu keluarga di rumah. Jangan cuma jadi benalu dan beban dalam keluarga."

Jlep.

Sangat menusuk rasanya mendengar ucapan Kintan barusan. Sangat tajam bak belati runcing yang menembus hatinya bagian terdalam. Ingin menangis, namun ia sadar kalau sekarang bukan waktu yang tepat.

"Jaga bicara kamu, Kintan!" Arwin menyentak keras. "Setelah apa yang Yesha kasih buat keluarga kita, kamu masih anggap Yesha benalu dan beban?" Arwin sudah tidak bisa menahan emosinya. Pasalnya setiap kali Ayesha pulang ke Bogor, anaknya itu tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari Kintan. Istrinya itu selalu saja menganggap Ayesha sebagai anak pembawa sial. "Tanpa Yesha, kita nggak akan bisa bertahan hidup sampai sekarang, harusnya kamu juga pikirin itu. Setiap bulan Yesha kirimkan uang untuk kita sekeluarga, sampai kamu akhirnya bisa belanja barang-barang yang kamu mau. Apa susahnya hargai perjuangan Yesha di Jakarta. Jangan hanya buruknya saja yang kamu nilai."

Ayesha yang duduk di dekat ayahnya, lantas mengelus pundak sang ayah untuk menenangkan ayahnya. Ayesha dapat memaklumi reaksi ayahnya saat ini, namun ia tidak mau pagi-pagi begini sudah terjadi pertengkaran.

"Apa yang dia kasih masih belum seberapa. Jangan mentang-mentang dia yang cari uang, dia bisa seenaknya pergi tanpa izin dari ibu!" Kintan membalas.

"Maaf Tante, Om." Alfariel menengahi, karena dirasa kekacauan ini terjadi karena ulahnya, tepatnya karena Ayesha akan pergi menemaninya ke rumah. "Saya rasa, saya bisa sendiri. Saya nggak perlu ajak Yesha untuk temenin saya ke rumah."

"Nggak pa-pa Nak Alfa, ucapan Tante Kintan jangan kamu dengarkan. Kalian pergi aja, nggak perlu mikirin hal lain. Om izinin." Arwin menjawab lembut, membuat Alfariel semakin sungkan.

RUMITOù les histoires vivent. Découvrez maintenant