23

12 105 96
                                    

Alfariel melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah. Sepanjang jalan yang ada di pikirannya hanyalah Ayesha seorang. Perasaannya terasa aneh sejak semalam jika ia mengingat Ayesha. Makanya sekarang Alfariel sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gadis itu, ia ingin memastikan bahwa Ayesha baik-baik saja, agar ia bisa tenang kembali.

Dari semalam Alfariel juga sudah mencoba menghubungi Ayesha, namun tidak ada sekali pun panggilannya yang terjawab. Ia juga sudah mengirimi banyak pesan untuk menanyakan dimana keberadaan Ayesha, namun Ayesha juga tidak memberikan balasan apapun. Alfariel menenangkan dirinya dengan berpikir kalau Ayesha sedang istirahat di kontrakannya karena kelelahan selama perjalanan dari Bogor dua hari yang lalu. Terlebih lagi kemarin Ayesha sempat bertemu dengan Nana, itu artinya Ayesha kelelahan begitu pulang bertemu dengan Nana, dan akhirnya tertidur pulas. Ya, Alfariel sibuk menanamkan pikiran positif itu di dalam otaknya. Itu lebih baik, kan?

Sialnya, saat ia sudah berada di bibir pintu kelas Ayesha, ia tidak melihat adanya gadis itu yang duduk di bangkunya. Ia hanya melihat Mirza yang tengah duduk di bangkunya sendiri sembari memainkan ponsel.

"Loh, Al. Nggak bareng Yesha?" kata-kata itu yang pertama kali menjadi sapaan dari Mirza untuk Alfariel. Ia pun heran melihat Alfariel yang berangkat ke sekolah sendirian, tanpa ada Ayesha yang biasanya selalu berangkat ke sekolah dengannya.

Alfariel menggeleng sembari bergegas memasuki kelas. Ia menempati bangku milik Ayesha yang masih kosong.

"Gue pikir Shasa udah di kelas." Alfariel menggumam pelan. "Apa gue terlalu pagi, ya. Makanya Shasa masih belum datang."

Mirza mematikan ponselnya, merasa ada yang aneh juga. Perasaannya pun mendadak tidak enak, namun ia tidak memberitahukan Alfariel, takutnya pria itu nanti menjadi khawatir. Padahal Alfariel juga memiliki perasaan yang sama seperti Mirza terhadap Ayesha. Mereka sama-sama berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Ayesha.

"Emang lo nggak jemput Yesha?" tanya Mirza heran. "Biasanya kan, lo selalu jemput Yesha sebelum ke sekolah. Apa karena bisnis kalian belum mulai lagi, makanya lo nggak jemput Yesha?"

Alfariel menganggukkan kepalanya. "Gue mau jemput Shasa, tapi dua hari yang lalu pas pulang dari Bogor, Shasa bilang katanya gue nggak perlu jemput dia, dengan alasan yang lo sebutin tadi. Ya gue juga nggak ngambil pusing, karena udah beberapa kali gue bujuk untuk berangkat bareng gue, tapi Shasa tetap nggak mau. Ya kali kan, kalau gue maksa?" Alfariel menautkan kedua alisnya heran.

Begitu pula dengan Mirza, keningnya tampak berkerut. Benar-benar merasa heran.

"Mungkin masih di jalan." Mirza mencoba berpikir positif. "Kan Yesha kalau ke sekolah pake ojek, kali aja kebingungan karena nggak nemu ojek yang mangkal. Ntar kalau telat ke sekolah dia bakal nyesel sendiri nolak tawaran lo." Mirza terkekeh pelan. Tidak mau berpikir yang aneh-aneh.

"Gue harapnya sih, gitu."

***

"Lo-?"

"Kenapa? Kaget?"

Mata Ayesha membola. Suara itu sangat dikenal olehnya. Seorang wanita dengan seragam sekolahnya datang menghampiri Ayesha, ditemani dengan dua orang temannya yang sesama perempuan.

Raquel. Ya, gadis itu adalah Raquel. Ayesha tidak tau bagaimana bisa Raquel ada di sana. Yang jelas ia sekarang yakin kalau Raquel lah dalangnya. Raquel yang sudah memukulnya semalam, dan Raquel yang membawanya ke gudang ini. Ayesha tidak tau apa tujuan Raquel menyakitinya, yang jelas Ayesha tau, ia akan berakhir buruk di tempat ini.

Ayesha ingin bangkit dari baringannya, namun tampak sulit. Ia baru sadar kalau ternyata tangan dan kakinya diikat cukup erat dengan tali. Ia tidak bisa bergerak sama sekali, tidak bisa memberikan perlawanan karena memang tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Akhirnya ia hanya bisa baringan saja.

RUMITWhere stories live. Discover now