[4] - Kita Bertemu Lagi

155 51 15
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Tayari, kamu nggak usah mampir ke Bu Sinta. Nanti bisa Bunda aja yang mampir," ujar seorang wanita paruh baya selagi kedua tangannya berkutat membungkus nasi dalam kemasan kertas.

"Belum telat kok. Masih sempet," kilah Tayari yang baru saja menyelesaikan kegiatannya mencuci piring.

"Udah jam setengah tujuh lebih, Ri."

Bunda, begitu panggilan Tayari untuk wanita paruh baya yang berambut hitam legam sebahu itu. Wanita yang selalu ada menemaninya dan memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Wanita yang mengisi rumah tua ini bersamanya sejak sepuluh tahun yang lalu.

Tayari tidak lagi menjawab. Dia segera masuk ke dalam kamarnya dan keluar dengan seragam rapi serta ransel warna pastel menggantung di kedua pundaknya. Dia menyambar kerantang rotan plastik yang sudah berisi bungkusan nasi.

"Ini isi berapa? Lima puluh?" tanya Tayari tak mempedulikan bundanya.

Swasti hanya menghela napas. "Iya. Lima puluh. Jangan lupa uangnya yang kemarin."

"Oke, siap!"

"Jangan lupa bekalnya."

Tayari hanya nyengir dan berbalik. Tahu maksudnya, Swasti memasukkan kotak bekal itu dalam tas Tayari dan menepuk bahu gadis manis itu tanda bekalnya sudah aman. "Hati-hati di jalan, Tayari."

"As always, Bunda." Tayari mencium tangan Swasti kemudian melangkah pergi untuk mengambil sepeda kayuhnya.

"Jangan pakai headset!" teriakan Swasti masih bisa didengar Tayari tapi gadis itu hanya nyengir dan menyumpal kedua telinganya dengan headset berwarna putih.











"Gimana sekolahmu, Sandy?" Pertanyaan pertama Hendra di meja makan pagi ini pada anak semata wayangnya.

"Bagus, kok," jawab Sandy seadanya lalu menyuapkan nasi goreng ke mulut.

"Gimana teman-teman kamu?" tanyanya lagi.

"Mereka baik."

"Nilai mereka juga bagus-bagus?"

Kali ini Sandy mendongak. "Ayah, baru hari ini masuk normal. Kemarin masih MOS. Pembagian kelas aja baru hari ini."

"Justru itu kamu harus belajar lebih giat lagi jangan sampai ada teman yang nilainya lebih baik dari kamu," ujar Ayah Sandy.

"Sudah, sarapan dulu." Ibunya datang dengan segelas susu untuk Sandy. "Ibu yakin nilaimu pasti nggak pernah mengecewakan, kok. Santai aja dulu."

Sandy tersenyum mendengar perkataan ibunya. Dia hendak melanjutkan makan namun terhenti saat ayahnya kembali berbicara.

"Nggak bisa santai dong. Justru ini saatnya Sandy belajar giat untuk tabungan nilai masuk perkuliahan." Ayahnya tetap keukeuh dengan argumennya sepagi ini. "Sandy, kamu harus mencalonkan diri jadi ketua kelas. Ah, bukan. Kamu harus jadi ketua kelas."

WHAT SHOULD I CALL U(S)? ✓Where stories live. Discover now