Part 7

74 44 212
                                    

🌼 HAPPY READING 🌼

Bel pulang berbunyi. Semua siswa siswi SMA Arrofanya berhamburan keluar dari gedung sekolah. Suasana kelas 11 Ipa 3 menyisakan beberapa orang, Salsa tidak mau buru-buru untuk keluar dari kelas takut bertemu dengan Febby atau pun Juan. Lebih baik dia keluar saat suasana sekolah mulai sepi, seperti kemarin. Salsa termenung sambil memikirkan ucapannya tadi saat di perpustakaan.

Pasti Kak Febby marah.

“Sa, kok lo nggak ke kantin tadi?” tanya Tara sambil memasukkan buku-bukunya.

“Gue bawa bekal.”

“Kok lo bawa bekal?” Ini Desi yang bertanya sambil memakai tasnya, bersiap untuk keluar kelas.

“Gue lagi hemat aja kok. Uang bulanan gue udah menipis karena keseringan check out di Shopee,” jawab Salsa sambil tersenyum lebar.

Desi mengangguk, “Lain kali ditahan. Gue tau emang berat, apalagi kalau banyak barang diskon. Kalau gitu, gue sama Dewi duluan, ya,” ucapnya menarik tangan Dewi yang baru saja memakai tasnya.

Salsa mengangguk, “Hati-hati … .” Dia melambaikan tangan pada Desi dan Dewi.

“Gue juga duluan.” Tara memegang pundak Salsa lalu keluar kelas.

Mimi yang sudah selesai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, memperhatikan Naufal yang sedang membereskan barang-barangnya sambil tersenyum.

“Fal,” panggil Mimi memasang senyum cantik.

“Hm.”

“Lidah lo lagi puasa, ya? Sampai jawab iya aja nggak bisa.”

“Hm.”

“Lo lagi puasa?”

Naufal hanya mengangguk.

“Puasa apa Hari Rabu? Perasaan puasa itu Senin Kamis, deh.”

“Puasa nggak ngomong sama lo,” jawab Naufal datar.

Mimi tertawa, “Udah batal dong. Barusan lo ngomong sama gue,” ucapnya tersenyum menatap wajah Naufal.

Naufal tidak memperdulikan Mimi, dia fokus melihat ponselnya.

“Oh iya, gue kan, belum masuk grup kelas, tuh. Jadi, masukin gue dong.”

“Ya,” balas Naufal singkat. Cowok itu tak mengalihkan pandangannya dari benda pipi di tangannya yang terus bergetar.

“Berarti lo butuh nomor gue. Sini, gue kasih.” Mimi hendak mengambil ponsel Naufal, namun cowok itu langsung berdiri.

“Nanti gue minta sama Salsa,” ucap Naufal bergegas meninggalkan keluar kelas.

“Fal, kok gitu. Lo harusnya minta sama gue, bukan sama Salsa,” ucap Mimi kesal.

Like-like gue.” Naufal kembali melanjutkan langkahnya keluar kelas.

Salsa menghampiri Mimi dengan wajah yang menahan ketawa, “Kasihan, ditolak.”

“Diam lo!” Mimi bergegas menyusul Naufal.

Salsa mengelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya yang tidak pernah berubah.

“Naufal, anterin gue pulang dong.” Mimi memegang lengan Naufal.

“Bukannya lo boncengan bareng Salsa. Lepasin tangan gue.” Naufal melepaskan tangan Mimi dari lengannya.

“Fal, nggak rapat lo?” tanya Erik menghampiri Naufal. Cowok itu melirik Mimi, “Pacar lo?” tanyanya sambil menunjuk Mimi.

“Cantik juga,” tambah Erik tersenyum ramah pada Mimi.

“Bukanlah.” Naufal mendorong Mimi menjauh darinya.

“Naufal, lo kasar banget sih, sama cewek cantik kayak gue.” Mimi hampir saja terjatuh, untung dia dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya.

“Dih, ngerasa banget lo cantik.”

“Emang dia cantik, Fal. Kalau bukan pacar lo, dia siapa  lo dong?”

“Bukan siapa-siapa gue!” jawab Naufal ketus.

“Woi! Kalian ngapain di sini? Ayok, ke ruang OSIS. Gue takut sendiri di sana,” ucap Atta yang memang sedang mencari-cari Naufal dan Erik.

“Emang kenapa?” tanya Erik.

“Itu Juan sama Kak Febby kayaknya lagi marahan. Katanya sih, pas di perpus Juan ngejar cewek tapi nggak tau siapa tuh, cewek,” jelas Atta.

“Cewek?” gumam Naufal.

“Ngapain Juan ngejar cewek, emang tuh, cewek siapa? Mantannya?” tanya Erik.

Atta hanya mengedikkan bahunya acuh. “Yuk, ke ruang OSIS.” Atta merangkul bahu kedua sahabatnya.

“Dah, cantik.” Erik melambaikan tangan pada Mimi sambil tersenyum.

“Siapa?” tanya Atta sambil melirik Mimi.

“Gebetannya Naufal,” jawab Erik ketawa.

“Enak aja. Jangan asal ngomong lo!” Naufal memukul belakang kepala Erik.

Mimi terdiam menatap takjub punggung belakang ketiga cowok tampan yang baru saja meninggalkannya. “Ternyata di sini banyak cogan. Puas gue cuci mata,” gumamnya tersenyum bahagia.

“Cogan mulu di otak lo! Ayok, pulang.” Salsa menarik tangan Mimi ke parkiran.

“Sa, lo tau nggak? Juan sama Kak Febby lagi cekcok. Kayaknya Kak Febby marah sama Juan. Lo nggak gunain kesempatan ini buat dekat lagi sama dia?”

“Lo ngomong apa, sih? Gue nggak mau jadi pelakor.”

“Tapi tadi lo bilang lo masih suka sama dia. Mending gunain kesempatan ini, kali aja kalian bisa balikan kayak dulu.”

“Sembarangan lo kalau ngomong. Gue nggak gitu!”

Mendengar Juan dan Febby bertengkar, ada perasaan bahagia yang Salsa rasakan. Namun, dia juga merasa sedih. Mengingat dulu kejadian saat di perpustakaan pernah terjadi padanya.

Pasti Kak Febby lagi sedih. Hatinya pasti kayak dicabik-cabik sekarang. Salsa memakai helm-nya, lalu menyalakan mesin motornya.

Apa sebaiknya dia benar-benar melupakan Juan?

Dalam perjalanan pulang, Mimi melihat seorang penjual mie ayam. Dengan cepat, gadis itu menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya untuk berhenti.

“Sa, Sa, berhenti dulu. Gue mau mie ayam,” ucap Mimi.

“Anjir … pantat lo kemasukan cacing? Kelisah banget, kita bisa jatuh, nih.” Salsa kesal, dia berusaha menyeimbangkan motornya.

“Cacingnya bukan di pantat gue, tapi di perut gue. Udah ngamuk nih, karena lapar. Berhenti dulu … kita makan mie ayam.”

Dengan perasaan kesal, Salsa menghentikan motornya. Karena tidak sabaran, Mimi langsung melompat dari motor Salsa saat sahabatnya itu baru saja menarik rem motornya.

“Tuh, anak kayak nggak pernah lihat tukang jualan mie ayam aja,” ucap Salsa yang menatap Mimi begitu gembira menghampiri penjual mie ayam.

“Bang! Mie ayam satu!” ucap Mimi semangat.

“Temannya nggak mau neng?” tanya penjual mie ayam sambil melirik Salsa yang menunggu Mimi di motornya.

“Nggak bang. Nggak doyan mie ayam dia,” jawab Mimi.

Penjual mie ayam mengangguk, “Pake kacang?”

“Pake dong!”

“Dikasih ayam neng?”

Mimi menatap bingung penjual mie ayam, “Kalau di kasih ayam, saya makan apa dong?” tanya Mimi dengan wajah polos.

Penjual itu mengangguk sambil tersenyum pada Mimi. Mimi ikut tersenyum, sambil menunggu mie ayamnya selesai dibuat.

“Ini neng.” Penjual itu memberikan kantung pada Mimi.

Mimi membuka kantung itu,
wajahnya tiba-tiba heran. “Kok mie ayamnya nggak ada ayamnya?”

“Lah, kalau beli racun tikus emang ada tikusnya?”

Wajah Mimi berubah datar, dia mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan diberikan ke penjual jadi-jadian itu.

“Loh, kok cuman 5 ribu neng? Harusnya 15 ribu,” ucap penjual itu tidak terima.

Sorry ya, nggak ada ayamnya.” Mimi menghempaskan rambutnya lalu berjalan menghampiri Salsa yang sudah tertawa terbahak-bahak.

***

To be continued

Hei, boy!जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें