Bab 5 - My Brother Cedric

3K 153 1
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Carlo, bagaimana harimu?" tanya mommy, sambil meletakkan kacang buncis ke piring kak Carlo.

"Seperti biasanya, Mom. Semua berjalan dengan sangat lancar," jawab kak Carlo.

"Mommy dengar kau menyetujui kerja sama dengan Grup Willneth?"

Kak Carlo melirik ayah yang tampak anteng makan dengan elegan. "Iya, Mom. Sepertinya aku akan dikirim ke luar negeri untuk menggarap proyek itu," katanya, bagai mengembuskan angin segar di telingaku.

Diam-diam ada yang bersorak senang. Yeay! Kak Carlo akan tidak ada di rumah! Kuharap itu memakan waktu lama!

"Kapan? Mommy akan menyiapkan keperluanmu sebelum pergi," sahut mommy perhatian, sementara aku di tengah mereka seperti tak dianggap. Ah, apakah aku tidak terlihat di mata mereka?

Kulihat ayah juga tidak angkat bicara sejak duduk di meja makan. Kira-kira apa yang sedang ayah pikirkan? Sebaris kata-kata kak Carlo tadi menimbulkan tanda tanya. Ucapannya seolah-olah dilempar kepada ayah.

"Tidak perlu, Mom," tolak kak Carlo. "Aku bisa melakukan semuanya sendiri." Tegas kalimatnya, tanpa bentakan, dalam sekejap mampu menekan dominasi mommy.

"Baiklah, nanti beritahu mommy kalau mau berangkat." Mommy berhenti membahas topik. Ia tak pernah memaksa kak Carlo, anak emasnya. Namun mommy tidak pernah berhenti untuk terus memperhatikan kehidupan kak Carlo, apakah hidup dengan baik atau tidak.

"Aku pulang~" Suara familiar baru terdengar diakhir percakapan. Kak Cedric datang dengan tampang lesu menggendong tas di pundak.

"Kau habis dari mana? Kebetulan sekali, kami baru makan. Ayo cepat duduk di sini! Mom membuatkan makanan kesukaanmu," kata mommy antusias melihat kedatangan putera keduanya.

"Aku tidak lapar," acuh kak Cedric melewati kami.

"Tapi mommy sudah membuatkan makanan yang kau suka. Mommy antarkan ke kamar saja ya?"

Terbakar hatiku mendengar kata-kata penuh perhatiannya pada kak Cedric. Justru dibalas dengan raut malas kak Cedric meliriknya.

"Mom, aku bukan anak kecil lagi. Aku tak butuh makanan darimu. Aku lelah dan ingin istirahat. Lanjutkan saja makan kalian..." Dingin sikapnya berlalu naik ke lantai dua, menyulut gejolak iri dariku yang mendadak perih.

Amarah menyesaki dada melihat sikap cuek kak Cedric. Diam-diam tanganku hanya bisa mengepal, menahan kecemburuan dan terluka. Lubuk hatiku meneriaki kak Cedric bodoh. Posisinya sebagai anak kesayangan malah disia-siakan. Lalu bagaimana denganku?

Terkadang aku ingin bertukar posisi dengannya. Memprihatinkan sekali bagaimana lara hatiku melirih, mengemis-ngemis kasih sayang mommy yang tak pernah kucicipi sejak kecil.

Kak Cedric yang anak pemberontak saja diberi kasih sayang olehnya, mengapa aku yang anak penurut tak pernah neko-neko justru terasingkan di matanya?

***

Bubar makan malam, aku tetap di ruang makan melihat mommy mempersiapkan makanan di nampan.

"Mom, apa itu untuk kak Cedric?" tanyaku.

"Ya," jawabnya, tanpa memandangku barang sekilas saja.

"Biar aku saja yang mengantarkannya ke kamar," tawarku.

Gerakan tangannya mendadak berhenti, lalu ia menatapku di seberang meja. Tanpa kata yang terucap, hingga pelayan datang mengatakan. "Nyonya, ada telepon penting dari kantor." Ponsel dari tangan pelayan akhirnya berpindah ke tangan mommy.

Ia menjawab panggilan telepon itu, dan aku setia menunggu kata-kata, "Cecil, bawakan untuk kak Cedric ke kamarnya," terlontar dari suaranya menyebut namaku. Gelenyar kesenangan berombak di dalam nadiku. Lalu dengan semangat aku mengangkat nampan berisi makanan, membawanya ke depan pintu kamar kak Cedric.

Tok... Tok... Tok...

"Kak Cedric?"

Tak ada sahutan. Aku menempelkan telinga ke pintunya. Hening. Tidak ada suara dari dalam. Maka, dengan penasaran tanganku memutar pegangan pintunya. Ternyata tak dikunci.

"Kak Cedric?" Kepalaku menyembul di celah pintu. Menyapukan pandangan ke dalam ruangan. Tampak terang dengan cahaya lampu, namun keberadaannya tak terlihat di sudut mana pun.

Aku menyelinap masuk sambil menutup pintu kamarnya. Berjalan menuju nakas, berniat hanya meletakkan nampan makanan, sebelum nyala ponsel menarik atensiku. Tampak pesan masuk tertera di layar.

Tak bisa kuabaikan, tanganku nakal meraih ponsel kak Cedric dan membuka pesannya.

[Bro, pesanan barang dari Moskow udah dateng. Gue sama temen-temen udah buka barangnya dan lagi dipake. Ternyata barang dari Moskow lebih amazing dari Italia! Gimana cara lo kenal orang sana? Keren!]

Sesaat aku terbengong, tidak mengerti apa maksud kata-katanya.

"Cecil?" Suara kak Cedric menyentak bahuku terkejut. Buru-buru kuletakkan ponsel ke tempatnya semula, lalu berbalik badan dan langsung menemukan kak Cedric baru keluar dari kamar mandi sambil mengacak-acak rambutnya dengan handuk.

"Kak Cedric..." Mendadak gugup membuat kelu lidah, sampai lupa tujuan masuk ke kamarnya. "A-aku hanya mengantarkan makan malam dari mommy. Tolong dimakan, ya kak," kataku, tergesa-gesa angkat kaki dari kamarnya. Tepat uluran tangan menekan pintu terbuka, lalu aku berbalik, dan sudah dalam penjara tubuh topless kak Cedric.

"Kak Cedric...." cicitku. Kurasakan diriku seakan mengecil di bawah kurungannya yang kekar.

"Kakak tidak mau makan makanan itu." Tajam tatapan matanya, mengingatkanku dengan permata kak Carlo.

Kutelan ludah dengan susah. "Kakak tidak suka dengan makanan itu?" tanyaku. Kak Cedric menggeleng, menyebarkan harum bau samponya, tercium jelas di hidungku.

"Kalau begitu kak Cedric mau makan makanan apa?" Aku masih bertanya.

"Makan dirimu saja."

Membeku seluruh ragaku, lenyap seketika suaraku. Hampir hilang napasku dari paru-paru. Sebait kata darinya bagai melemparku ke dunia lain. Menguras pikiranku sampai terbengong-bengong. Hingga satu tanya terucap lambat di bibirku. "A--apa?" Tidak lupa dari ingatan bagaimana perlakuan kak Carlo, jangan sampai menular pada kak Cedric juga.

Tiba-tiba kak Cedric tersenyum lebar, disusul suara tawa yang terkekeh-kekeh. "Apa yang kau pikirkan?" Kak Cedric menggodaku!

"Ih kakak!" Kuhentakkan kaki dengan kesal. Ia berlalu masih terkekeh, lalu duduk di tepi ranjang. Seringai lebarnya belum juga luntur, hingga sebelah tangannya berayun.

"Sini, bantu kakak mengeringkan rambut," katanya. Seolah tersihir, aku patuh mendekatinya. Berdiri di depan kak Cedric, handuk kecil sudah bertengger di kepalanya yang tertunduk. Waktu terasa bergerak lambat saat keraguan menggerakkan tanganku memperkejakan handuk kecil itu.

"Kalau diingat-ingat lagi, kita jarang berdekatan seperti ini," celetukku, murni dari hati.

"Hm, kau benar...." sahut kak Cedric, membola mataku mendengarnya. Tertegun. Tak disangka ia akan membenarkan kata-kataku. Apakah itu artinya kak Cedric memperhatikan kerenggangan hubungan kami?

"Aku sebagai kakak harus memiliki muka tebal..." bisik kak Cedric. Raut mukanya nampak murung. Sekilas kuingat pesan masuk dari ponselnya.

"Oh iya, tadi aku sempat membaca pesan dari ponsel kakak. Barang apa yang datang dari Moskow?" tanyaku penasaran. Tiba-tiba Kak Cedric mencekal tanganku di atas kepalanya.

Ia mendongak kaget. "Kau membacanya?"

Aku mengangguk. Entah karena apa, ia terburu-buru mengecek ponselnya di nakas. "Lain kali jangan asal membaca pesan dari HP orang. Apa kau tidak tahu sopan santun?" Suaranya berubah marah.

"Maafkan aku," cicitku menyesal.

***

Terjerat Hasrat Dua Kakak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang