Bab 16 - Kebenaran

1.5K 108 13
                                    

Setelah Carlo dipanggil ayah, aku tidak melihat mereka berdua. Ketika melewati ruang kerja ayah, aku mendengar samar-samar suara ayah yang terdengar marah. Tertarik, aku mendekati pintu ruang kerja ayah untuk menguping.

"Apa kau gila, Carlo!"

"Barusan kau keluar dari kamar Cecillia, apa kau mengganggunya lagi?"

"Aku memang sudah gila, ayah.... Aku tergila-gila pada Cecil."

"Ayah tidak pernah ingat mendidik kau menjadi anak yang rusak." Ayah kecewa.

"Ingat Carlo, Cecil adalah adik perempuanmu dan selamanya akan seperti itu. Suatu hari kalian akan menemukan pasangan dan hidup masing-masing. Jadi berhentilah mempermainkan Cecil!" tegas ayah. Wajahnya murka.

Aku membekap mulut dan menarik diriku merapat ke tembok. Tidak disangka ayah akan berkata seperti itu. Ini di luar dugaanku bahwa ayah membelaku? Jadi ayah juga tahu tentang bengkoknya hubungan kami berdua?

Pergi dari sana, aku berjalan dengan cepat keluar rumah. Rumahku tidak ada penjaga khusus kecuali hanya cctv. Tapi aku yang sangat patuh pada Carlo, seperti terpenjara di dalam rumah. Padahal begitu mudah aku bisa keluar rumah kapan pun.

Aku berlari di jalanan. Aku ingin pergi. Pergi menjernihkan pikiranku. Carlo membuatku gila. Aku bisa merasakan perubahan dalam diriku yang kian meningkat ke arah lain.

Menggunakan taksi, aku melamun menatap ke luar jendela. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau terjebak dalam kenikmatan sesat. Carlo adalah kakakku. Kejadian tadi pagi membuatku semakin takut. Takut lepas kendali.

"Apa yang harus kulakukan----" gumamku terputus ketika melihat sosok familiar di depan gedung sana. "Sir! Berhenti di sini!" Taksi berhenti. Membayar uang cash, aku bergegas turun keluar.

Tepat di seberang jalan, aku melihat Sean di lobi bersama orang-orang berjas lainnya. Melihatnya secara tak sengaja, membuatku ingin bertemu dengannya sekarang juga.

Ting!

Pesan masuk dari Carlo.

[Kau pergi kemana?]

Lantas kuabaikan. Ketika lampu penyebrangan pejalan kaki berwarna hijau, aku menyebrangi zebra cross. Bagiku saat ini hanya Sean satu-satunya temanku. Haha! Belasan tahun sekolah, aku hanya punya satu teman saja. Itu pun teman sekomplek dulu.

Sean.... Saat pertama bertemu dengannya setelah sekian lama, ada perasaan bersyukur di hatiku bahwa dia tidak berubah menjadi pribadi yang asing. Sean tetap seperti Sean yang kukenal. Dia tidak sombong itu saja yang terpenting.

Sean.... Kita perlu bicara. Aku tidak berpikir kedatanganku di jam kerja ini akan mengganggu dia. Tak apa, aku bisa menunggu sampai waktu istirahat. Tapi! Berhubung Sean terlihat di luar kantor, aku harus membuat dia melihat keberadaanku.

Sean! Lihatlah ke sini! Lalu datanglah padaku! Aku yakin jika kau sudah masuk, akan sulit bagiku meminta staff kantor mengizinkan.

Aku melambaikan tangan. Berharap dia melirik padaku. Aku berlari kecil. Berusaha bergerak dengan sedikit mencolok. Berjalan sedikit mendekat agar dia memperhatikanku.

Pria itu terlihat sedang mengobrol dengan seorang pria baya. Wajah tersenyum itu dan gayanya yang penuh wibawa.... Aku terkagum pada penampilannya yang dewasa.

Tiba-tiba kudapati lirikan matanya terarah padaku. Aku bersemringah. Lalu Sean dan pria baya itu berpisah. Sean masih di tempatnya. Pria itu berjalan ke arahku. Dalam hati, aku bersorak berhasil. Akhirnya aku bisa bertemu Sean tanpa harus melewati drama penolakan dari resepsionis.

"Cecil.... Aku tak menyangka melihatmu di sini," kata Sean. Matanya melirik ke sekitar dengan gestur panik.

"Bisakah kita bicara berdua?" tanyaku meminta waktunya.

***

Kami berada di restoran yang sepi. Kami duduk bersebrangan dengan tegang. "Kau tampaknya khawatir akan sesuatu," tegurku.

"Ya tentu saja aku khawatir padamu jika kau ke sini tanpa ditemani kakakmu," sahutnya.

Aku menyeringai kecil. Instingku mengatakan bahwa Sean sedang menyembunyikan sesuatu. "Kenapa kau khawatir jika aku pergi tanpa kakakku. Terutama.... Kak Carlo?" balasku mencoba memancingnya.

Sean terdiam dengan muka kaku. Aku menambahkan lagi. "Apa sebenarnya kau sudah tahu sesuatu tentang Kak Carlo?" tebakku. Ini hanya tebakan belaka walau aku sama sekali curiga pada Sean. Tetapi.... Melihatnya diam tak mengelak, membuatku perlahan terpengarah.

"Kakakmu... Dia sudah membuktikan ancamannya," ungkap Sean akhirnya.

"Dia mengancammu seperti apa?" tanyaku.

"Dia nyaris membuat perusahaan kami terjun bebas dalam sehari. Kakakmu bisa menggagalkan proyek besarku sehingga perusahaan kami mengalami kerugian besar. Tapi setelah aku berjanji tidak berhubungan lagi denganmu, perlahan-lahan bisnis kami mulai stabil."

Aku tercengang.

"Cecil, aku minta maaf. Untuk sekarang ini jangan temui aku. Aku takut dia mengetahui pertemuan kita dan proyek yang sedang kukerjakan akan gagal lagi. Aku sangat bekerja keras untuk proyek besar kami. Jadi, ini adalah pertemuan terakhir kita," putus Sean serius.

Aku menggeleng pelan. Sungguh tidak percaya atas apa yang telah kakakku lakukan padanya. Hey, membuat bangkrut perusahaan besar milik keluarga Sean dalam sehari adalah kekuatan yang tidak main-main! Dan kakakku mampu melakukannya hanya dengan sekali perintah!

Astaga, Kak Carlo.... Aku tidak tahu seberapa kuat kekuasaanmu. Selain memang gila, dia rupanya sangat berkuasa. Aku harus lebih berhati-hati agar tidak merugikan orang lain lagi.

"Maaf Cecil... Sepertinya aku tidak bisa banyak membantumu," kata Sean.

Aku tercekat. Apakah ini rasanya ditolak? Menyakitkan. Huh~ kutarik napas dalam-dalam. Aku tidak ingin menyerah dari Sean.

"Sean.... Apa kau tahu mengapa Kak Carlo melakukan hal itu padamu?"

"Dia kakak yang sangat posesif padamu, adiknya. Mungkin alasan dia menggagalkan perjodohan kita karena aku tidak masuk dalam kriterianya."

"Gotcha!" sentakku menemukan celah. "Kau bilang menggagalkan perjodohan kita. Apa itu artinya alasan kau punya kekasih itu bohong?" Aku menyimpulkan.

Sean terbungkam.

Dia keceplosan atau sengaja?

"Maaf, Cecil." Sean tertunduk.

"Kau tidak perlu minta maaf! Kau tidak salah apa-apa, Sean!" sanggahku. Aku jadi tidak enak hati padanya. Sudah merepotkan dia, malah mendapat permintaan dari orang yang kurepotkan. Benar-benar tidak tahu diri aku!

"Justru akulah yang minta maaf padamu," lirihku dengan sedih.

Sejenak kami hening.

"Aku punya kenalan. Kau mungkin bisa meminta bantuan padanya untuk pemalsuan identitas ke luar negeri," kata Sean. Lalu dia mengeluarkan kartu nama kepadaku. "Hubungi dia. Dia mungkin bisa melakukannya."

Aku menerima kartu nama itu. Namanya terlihat tidak asing. Seperti nama seseorang yang kukenal. Sesaat aku lupa siapa dia.

"Sean...." Aku terharu untuk mengatakan hal ini. "Terima kasih banyak..." Mataku jadi berkaca-kaca. "....sudah menganggapku sebagai temanmu setelah lama kita lost contact. Terima kasih banyak untuk semuanya, Sean."

Aish~ kenapa ini seperti kata-kata terakhirku?

Setelah selesai, kami berpisah di luar restoran. Aku jalan kaki menyusuri trotoar sendirian.

Tiba-tiba sebuah mobil menepi ke sisiku. Aku berhenti sejenak untuk memperhatikan siapa yang ada di dalam mobil Audi hitam itu ketika kaca jendelanya turun terbuka.

***

- ramein kolom komennya dong ^^

Terjerat Hasrat Dua Kakak Where stories live. Discover now