Bab 19

1.5K 92 5
                                    

Aku langsung lompat ke kasur. Menarik selimut dan menutupi tubuhku. Sejenak suasana hening. Sudah beberapa menit tidak ada suara Carlo lagi. Apakah dia sudah pergi.

Huft!

Lega rasanya kalau dia sudah pergi. Aku menyingkap selimut dan turun dari kasur. Aku haus dan ingin minum. Maka aku harus pergi ke dapur di lantai satu.

Ketika membuka pintu, aku dikejutkan oleh sesuatu. "Astaga!" Kulihat Carlo bersandar di tembok dengan melipat lengannya di dada. "Sejak kapan kakak berdiri di sini?" tanyaku heran.

"Sejak kau masuk ke kamar dan berpura-pura tidur," jawabnya.

Aku membeku. Apakah dia melihat aku keluar dari kamarnya? Tapi bagaimana bisa? Itu tidak mungkin. Carlo bukan cenayang loh!

"Aku tidak pura-pura tidur!"

"Ya sudah terserah. Sekarang ikut aku pergi," tariknya pada tanganku.

"Eh? Tunggu dulu!" tahanku, dan dia berhenti menarik tangan.

"Kenapa?" tanyanya.

"Mau pergi kemana? Aku ganti baju dulu, masa keluar pakai baju beginian!" protesku. Baju rumahan yang tidak layak dibawa pergi keluar, hanya akan membuatku malu.

"Ya sudah, ganti baju dulu," ucapnya menarik tanganku masuk ke kamar.

Dia melepaskan tautan tangannya dariku. Beralih membuka pintu lemari. Lalu mengambil bajuku dari dalam. "Pakai ini saja," kata Carlo. Aku melihat itu adalah celana jeans hitam panjang dan blouse biru langit senada dengan kemeja Kak Carlo.

Lalu Carlo duduk di ranjang dan melihatku lekat. Aku bingung. "Kenapa kakak masih ada di sini?" tanyaku.

"Menunggumu ganti baju," jawab Carlo santai.

Aku nyaris tersedak ludahku sendiri.

"Tidak bisa begitu! Kakak harus keluar dulu, baru aku akan ganti baju!" elakku.

"Kenapa memangnya?"

Malah tanya lagi!

Aku jadi geram sendiri. "Aku tidak mau kakak melihat tubuhku!" marahku dengan malu. "Kalau begitu tidak usah keluar mengajakku!" ancamku.

"Baiklah. Aku akan tunggu di bawah," kata Carlo. Akhirnya dia pergi dari kamar.

Aku menghela napas lega.

Dia sering sekali menguji detak jantungku.

***

"Kita pergi kemana?" tanyaku.

"Belanja makanan," jawab Carlo.

Aku mengernyitkan dahi dengan aneh. "Biasanya bibi pelayan yang membeli segala kebutuhan makanan keluarga," heranku.

"Aku menahan mereka pergi, dan ingin pergi berdua denganmu hari ini," kata Carlo meliriknya sekilas dengan seringai kecil.

Aku diam, karena napasku tercekat. Diam-diam aku menelan salivaku sampai terdengar sendiri. Kata-katanya itu membuatku cemas.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di mall. Carlo meraih tanganku dan menggandengnya erat. Aku hanya mengikuti langkahnya seperti anak kucing yang dibawa-bawa induknya.

Kami berada di bagian supermarket. Carlo mengambil troli dan mendorongnya. Sedangkan aku berjalan di belakangnya.

Carlo berbalik. Aku mendongak. "Kau berjalan di belakang, kemarilah," ujar Carlo. Aku maju selangkah. Seketika lengannya merengkuh pinggangku. Membuat tubuh kami menempel.

"Kau mau beli makanan apa? Ambil saja," kata Carlo.

Aku mendongak menatapnya. "Benarkah?" tanyaku. Carlo mengangguk.

Lalu aku tidak segan lagi untuk mengambil camilan dan beberapa mi instan cup. "Tidak boleh!" tegur Carlo. Aku melongo, melihat dia menaruh camilan dan mi instan cup yang kuambil sembarangan.

"Loh, kenapa? Katanya ambil saja?" protesku cemberut.

"Makanan itu tidak sehat. Ambil makanan yang sehat saja," ujar Carlo. Aku merengut.

"Aku mau camilan kesukaanku saja." Aku mengambil satu keripik kentang. Tiba-tiba tangan Carlo menahanku. Aku menatapnya tajam. Carlo menggeleng. "Hanya buah dan sayur, atau camilan berserat tinggi," ucapnya dengan tegas. Akhirnya kulepaskan keripik kentang itu dengan tidak rela.

Setelah troli hampir penuh, kami pergi ke meja kasir. Membungkus semua belanjaan kami. Ada dua kantong plastik besar di tangan Carlo.

Ini adalah kesempatan yang bagus. Tidak, bukan kali ini saja, sebenarnya ada banyak kesempatan bagiku untuk kabur dari rumah. Bisa saja sekarang juga aku langsung berlari dari Carlo, lalu naik taksi dan pergi ugal-ugalan. Tapi sekali lagi, perbekalanku belum cukup. Tabungan dan identitas palsu agar tidak terdeteksi, belum siap. Jadi aku harus sabar.

Aku menghela napas.

"Kita makan siang dulu," kata Carlo.

"Loh, memangnya kakak belum makan di kantor?" tanyaku heran. Sekarang sudah jam setengah dua.

"Sudah, tapi kakak mau makan siang denganmu," jawab Carlo. "Kau belum makan kan?"

"Sudah," jawabku bohong.

"Bibi pelayan bilang belum masak loh. Aku datang ke rumah tepat di jam makan siang, dan langsung mengajakmu," ucap Carlo mengungkap cerita kebohonganku.

Aku hanya merotasikan mata dengan jengah. "Baiklah. Kita makan di mana?" Aku mengalah.

***

Di restoran cepat saji, kami duduk berhadapan. Di meja kami sudah tersedia menu yang kami pesan sebelumnya.

Agak kelaparan memang tapi aku makan dengan tenang.

"Kau boleh memesan lebih banyak lagi kok," kata Carlo.

Aku meliriknya datar. Tak kuhiraukan, aku lanjut makan sampai habis. Tiba-tiba tangan Carlo mengusap sudut bibirku sambil tersenyum.

"Makanmu belepotan. Apa kau mau aku suapi supaya tidak belepotan?" kata Carlo. Matanya menggoda. Namun aku balas dengan dengusan dingin.

"Aku masih punya dua tangan. Fokus saja pada makanan kakak," kataku mengabaikan.

Carlo malah bertopang dagu di meja. Tatapannya tertuju padaku dengan senyuman menjijikan itu. "Aku sudah kenyang selama kau makan di depan mataku," ujarnya.

Basi sekali. Kata-kata rayuan yang sering aku dengar di film romantis. Terdengar manis tapi aku sudah sangat muak mendengarnya jika itu dari mulut pria ini.

"Aku sudah selesai. Ayo kita pergi," ucapku saat meletakkan alat makan. Sekarang piring porselen di depanku sudah kosong. Aku cukup kenyang.

"Apa kau tidak sabar untuk pulang ke rumah bersamaku?" kata Carlo. Aku terkejut. Dia dengan sengaja menyalahkan arti dari maksudku.
Menyebalkan sekali.

"Aku lelah dan ingin tidur," sahutku masih dengan menahan sabar, kemudian bangun dan beranjak pergi meninggalkannya acuh.

Carlo pergi ke meja kasir. Melakukan pembayaran dengan black cardnya sebelum menyusulku.

Ketika di parkiran, dia membukakan pintunya untuk aku masuk. Lalu kami segera pergi menuju rumah keluarga.

Karena sudah makan banyak tadi, membuatku cepat mengantuk. Akhirnya aku memilih tidur di mobil. Rasa kantuknya tidak bisa aku tahan lagi. Aku pun terlelap.

Ah. Tidurku terganggu. Sesuatu menyentuh wajahku dengan tangan. Kurasakan jemari itu mengusap bibirku. Lalu aku membuka mata perlahan, dan melihat Carlo yang melakukannya.

"Kak--"

"Sssht!" Carlo menaruh telunjuknya di bibirku. Lalu dia sendiri melonggarkan dasinya seraya menyeringai. "Bibirmu terlihat sangat menggoda. Dia ingin aku manjakan. Jadi, ambil napasmu dalam-dalam, sayang," ucap Carlo semakin dekat ke depan wajahku. Berikutnya hal seperti itu tidak bisa aku cegah lagi.

Carlo menciumku dengan agresif. Meraup bibirku dan mengemutnya seperti permen.

Dia gila. Aku tak suka ini. Aku memberontak. Namun dia menahan kedua tanganku dengan cengkraman kuatnya. Carlo menggila. Dia buat aku jadi pasrah.

***

Udah lama gak update cerita ini. Sekalinya update malah salah isi. T_T

Terjerat Hasrat Dua Kakak Where stories live. Discover now