Bab 18 - Aku Tahu Kau Di Kamar, Sayang

2.3K 131 23
                                    

Kami kembali ke rumah. Carlo menggandeng tanganku masuk ke rumah. Di ruang tengah ada ayah dan ibu. Ayah melihat kami duluan, lantas berkata. "Kalian darimana?" Sembari tatapan matanya mengarah pada genggaman kuat tangan Carlo di tanganku.

Saat bersamaan, muncul Cedric dari arah tangga, hendak turun. Dia melihat kami datang. "Mungkin mereka habis bermain, ayah. Kalau tidak, mana mungkin wajah cantik Cecil kita terluka," celetuk Cedric dengan cueknya melengos ke dapur.

Perkataannya membuat ayah menatapku dengan lekat. "Benar, kenapa wajahmu di plester begitu?" kata ayah dengan heran. Plester di pipiku kecil dan warnanya nyaris menyatu dengan warna kulitku.

Aku mendongak, menatap Carlo. "Panah Kak Carlo meleset dan mengenai pipiku," ungkapku dengan jujur.

"Carlo!" bentak ayah. Wajahnya marah. Tapi Carlo terlihat biasa saja. Dalam sekejap suasana damai rumah menjadi memanas.

"Apa kau berniat membunuh adikmu?" Ayah tampak tak percaya.

Tanganku mencoba melepaskan genggamannya. Tapi tangan Carlo begitu kuat menjerat tanganku.

"Mana mungkin aku melakukan kejahatan seperti itu, ayah," ucap Carlo. Aku terpegun mendadak. Entah mengapa kata-katanya tersebut terdengar tulus.... atau hanya perasaanku saja? Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan melalui wajahnya.

"Dia adikku yang sangat berharga," lanjut Carlo. Sudut bibirnya terangkat pelan. Dia tersenyum miring. Sorot matanya berubah pada ayah.

Apa maksudnya itu?

"Sudahlah ayah, jangan terlalu keras padanya," sambung ibu menengahi. "Tidak mungkin Carlo berniat jahat pada puteri kita. Jangan berpikir terlalu jauh."

"Kalau begitu kami masuk ke kamar," pamit Carlo. Dia menarikku yang seketika terseret olehnya. Saat itu aku menoleh ke balik bahu, menatap ayah yang hanya terdiam mematung.

"Kakak, lepas," pintaku. Carlo melepas genggamannya dariku.

"Cecil, apa kau percaya kalau aku sangat menyayangimu?" Tiba-tiba Carlo bertanya. Pertanyaan yang seakan mengujiku untuk menjawab sesuai keinginannya. Sejenak aku bingung apakah harus menjawab jujur atau berbohong?

Lantas aku mengangguk. Kusunggingkan senyuman manis padanya. "Aku percaya kakak sayang padaku," jawabku dengan tulus. Sebuah kalimat yang tersirat akan harapan. Harapan agar dia bersikap seperti sosok kakak yang kudambakan.

Carlo tersenyum pelan sambil membelai pipiku dengan satu tangannya. Tatapan matanya yang menatapku terasa lembut. "Aku akan selalu berada di sisimu," ucap Carlo.

Tidak perlu, Kak.... Jangan selalu. Itu terdengar menyeramkan. Cukup sesekali saja di saat aku butuh sosok kakak. Jangan selalu.

Batinku menggeleng. Tetapi bibirku terus tersenyum.

"Istirahatlah," ujar Carlo. Sekilas mengelus rambutku. Kemudian aku membuka pintu kamarku. Lalu menutupnya dengan rapat. Sejenak aku terdiam memikirkan perubahan sikap Carlo barusan. Dia memang kasar, tetapi bisa bersikap lembut juga....

"Huft! Melelahkan!" Aku ambruk ke kasur dengan tengkurap. Rasa kantuk memberatkan mataku. Dalam waktu singkat aku tenggelam dalam mimpi.

***

Aku terbangun. Bayangan seseorang tampak di mataku, hingga sosoknya mulai jelas dan itu adalah Carlo. Dia duduk di tepi kasur sambil mengelus-elus rambutku. Pria itu tersenyum. Tersenyum dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Ayo bangun, waktunya makan malam," kata Carlo.

Lalu aku bangun, dan kami turun ke meja makan bersama. Carlo menggenggam tanganku saat berjalan menuju ruang makan.

Dia sana sudah ada ayah dan ibu kami. Aku ingin terlepas dari genggamannya. Namun tangan Carlo semakin memegang tanganku dengan kuat.

Begitu aku menarik kursi dengan tangan lain, suara Carlo menahanku. "Tempat dudukmu bukan di situ," kata Carlo. Sesaat aku tidak mengerti ucapannya, tapi kemudian lengan kekarnya menarik pinggangku hingga duduk di atas pangkuannya.

"Tapi kak, aku ingin duduk di kursi makanku," ucapku beralasan. Posisi seperti ini bukan pertama kali duduk di depan kedua orang tua kami. Tiba-tiba aku sedikit berjingkat ketika merasakan cubitan di pinggang. Itu adalah isyarat untukku. Aku akhirnya menurut.

Lalu Cedric muncul dan dia tampak terkejut sekilas melihat cara kami duduk. Cedric terlihat mengabaikan kami berdua. Dia duduk di seberang kami.

Aku menatapnya penuh makna. Menatap Cedric agar membantuku terlepas dari Carlo saat ini. Namun, setiap kali mata kami tak sengaja bertemu selama makan, Cedric buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Ibu," panggilku. Berharap dapat pembelaan dari ibu. "Aku bukan anak kecil lagi kan? Bisakah ibu meminta Kak Carlo melepaskanku?" Kata-kataku bermaksud minta pertolongan.

"Kau memang masih anak-anak. Memangnya apa yang salah dari kakak tertuamu?" sahut ibu. Seketika melenyapkan sedikit harapan pada ibu.

Aku melirik ke ayah. Teringat lagi percakapan ayah dan Carlo baru-baru ini. Hal tersebut membuatku semakin curiga bahwa ada rahasia yang mereka sembunyikan dariku. Aku harus mencari tahunya sendiri!

Tengah malam, aku terusik ketika beban berat menindih pinggangku. Ketika menoleh ke balik bahu, Carlo ada di belakangku. "Kenapa kakak tidur di kamarku?" tanyaku dengan suara serak. Aku baru saja merasakan ranjangku bergerak di sisi sebelah tadi. Ternyata dia naik ke kasurku dan memeluk perutku dengan erat. Sehingga punggungku menempel di dada bidangnya.

"Aku ingin tidur dengan sayangku," ujar Carlo. Suaranya berembus di leherku. Membuatku sedikit menggigil karena sensasi yang geli.

Aku pikir tidak masalah jika dia hanya tidur di sampingku, selama dia tidak mengganggu tidurku. Perlahan aku menutup mata dan setelahnya aku tidak ingat lagi.

***

Hari ini semua keluargaku tidak ada di rumah. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk mengorek-ngorek informasi tertulis di ruang kerja ayah.

Aku membuka laci mejanya. Membuka secara acak buku yang kutemukan. Lalu berpindah ke tempat lain. Aku mengacak-acak ruang kerja ayah.

Aku berputar-putar dan tidak menemukan apapun di sini. Semuanya normal. Tidak ada benda yang disembunyikan entah itu di dalam sofa atau di dalam lemari. Semua dokumen itu hanya berisi dokumen kantor, buku-buku filsafat dan bacaan berat lainnya.

Di luar pintu ruang kerja ayah, aku melirik lorong yang mengarah ke kamar Carlo. Jadi aku dengan ragu-ragu berjalan ke arah itu. Lalu berhenti di depan pintu kamar Carlo.

Sejenak terdiam berpikir.

Bukankah aku sudah sangat sering dibawa masuk olehnya? Jadi kenapa sekarang malah banyak berpikir untuk membuka pintu kamarnya? Jelas saja Carlo tidak ada di rumah. Inilah kesempatanmu untuk mengacak-acak kamarnya!

Tanpa pikir panjang lagi, pintu kamarnya kubuka. Kamar bernuansa maskulin, aroma parfumnya menyeruak di hidungku dengan menggoda. Wangi segar.

Sepucuk kertas terselip dibalik bingkai lukisan di dinding. Aku mendekat. Menarik keluar kertas itu. Tiba-tiba suara Carlo terdengar di lantai satu, bicara dengan pelayan.

Aku panik!

Aku buru-buru keluar dari kamarnya. Langsung masuk ke kamarku. Kukunci kamarku, dan merasakan jantungku berdebar kencang.

Duh, kenapa dia harus pulang ke rumah di jam istirahat kantor, sih? Bikin jantungan saja tadi.

Lantas kudengar suara pintu kamarnya dibuka, lalu ditutup lagi. Setelahnya aku tidak mendengar suara apapun lagi. Apakah Kak Carlo sudah pergi lagi?

"Aku tahu kau di dalam kamar, sayang."

Deg!

***

Terjerat Hasrat Dua Kakak Where stories live. Discover now