Bab 9 - Carlo's Lust

2.6K 132 2
                                    

Kami tiba di rumah. Sayup-sayup aku mendengar suara dad dan Carlo dari ruangan lain. Karena ingin tahu, aku mendekati suara itu hingga berhenti di depan pintu ruang kerja dad yang sedikit terbuka.

"Dad! Aku tidak mau pergi ke luar negeri!" Carlo berteriak marah.

"Kalau bukan kau yang melakukannya, lantas siapa lagi?" sahut dad.

"Dad punya banyak karyawan yang kompeten. Kenapa harus aku! Aku tidak mau."

"Carlo!" bentak dad.

"Dad berencana memisahkan aku dari Cecillia kan?"

Aku? Kenapa namaku disebut?

Dad diam. Menatap Carlo serius.

"Carlo, kau putera sulung dad. Satu-satunya anak yang bisa mewarisi perusahaan keluarga. Hanya kau yang bisa dad andalkan. Lagipula lama atau tidaknya kau berada di sana tergantung pekerjaanmu."

"Apakah dad bermaksud menguji kemampuanku?" Carlo tersenyum miring. Ia mendengus kasar. "Okey, aku akan pulang lebih cepat dari yang dad rencanakan," tandas Carlo.

Tahu ia akan keluar, aku buru-buru berlari turun ke lantai satu. Masih ada Cedric di meja pantry, sedang menuangkan air dingin ke gelas.

"Cedric," panggilku pelan.

Pria itu meneguk air mineralnya. Lalu aku melanjutkan apa yang ingin dikatakan. "Apa Carlo punya masalah dengan dad?" bisikku. Cedric meletakkan gelasnya lagi ke meja.

"Masalah apa?" tanyanya dengan ekspresi heran.

"Barusan aku dengar Carlo sedang bertengkar dengan dad di ruang kerja," kataku.

"Oh ya? Mereka bertengkar soal apa?" timpal Cedric yang membuatku menjawab. "Aku tidak tahu bagaimana awal mulanya, aku hanya mendengar bahwa Carlo tidak mau pergi ke luar negeri."

"Memang di bagian mana yang pentingnya?"

Aku bungkam. Menatap Cedric dengan perasaan gamang. Kakak lelaki yang satu ini benar-benar cuek dengan keadaan keluarga di rumah. "Memang benar tidak ada info yang penting tentang pertengkaran mereka. Itu hal yang sangat biasa bukan?"

"Siapa yang bertengkar?" Suara lain menyambung perkataanku, memberi kejutan dari belakang ketika tahu yang bicara adalah Carlo. Ia tampak baru turun dari tangga, berjalan menghampiri kami.

"Siapa yang bertengkar?" ulangnya terkesan menuntut. Ia melirik Cedric, kemudian menatap ke arahku.

"Kami berdua hanya memperdebatkan hal kecil," kata Cedric. "Tapi sekarang kami sudah baikan lagi," lanjutnya. Timbul heran di benak, hampir menyatu kedua alisku mendengar ia berkata bohong pada Carlo, padahal pembicaraan kami bukan sesuatu yang rahasia bukan?

***

"Tonight, I want sleep to with you."

Selembut dawai menggoda, sebaris kata-kata berbisik serak di telinga. Desah napas suaranya membangunkan diri dari mimpi. Seketika terbelalak tegang, bukan lagi dering alarm yang selalu mengejutkan tidur, kali ini jelas suara manusia memecah alam bawah sadarku.

Siluet tubuh besarnya menghalangi pandangan. Belum sempat aku bergerak, ia sudah merangkak memenjarakan ragaku yang terbujur kaku. "Malam ini aku ingin menghangatkan ranjangmu," bisik Carlo dengan suara rendahnya tepat berembus di depanku. Nyaris tanpa jarak saat hidungnya menyentuh wajah.

"Carlo!" pekikku. Ini bukan lagi mimpi buruk. Tapi kenyataan buruk! Tepat ketika lembut bibirnya menekan ceruk leherku, gelenyar aneh terasa mengalir di dalam darahku. Ia menghujani dengan kecupan manis berkali-kali, merayu naluri hingga meremang ke sekujur tubuh.

Segenap kewarasan otak masih berteriak sebelum sentuhan basah melemahkan seluruh syarafku dengan kejam. Ia menjilatnya dan menggigit bak vampir penghisap darah.

"Carlo!" teriakku sekali lagi di sela-sela akal sehat yang mulai terguncang. Batinku memberontak, berusaha mempertahankan kewarasan, kala menyadari reaksi tubuhku merespon.

"Kumohon jangan seperti ini!" Kudorong dadanya dengan kedua tangan tanpa sekuat tenaga, seolah-olah tidak ingin ia pergi tapi juga ingin ini berhenti di sini saja. Sebenarnya apa mauku! Kekuatan tenagaku bagai teredam oleh aroma cool yang memabukkan penciumanku.

Apakah aku tergoda secara seksual dengan kakakku sendiri? Aku bahkan tidak mau membayangkan tindakan seperti ini beraksi lebih jauh lagi. Terkesan menjijikkan. Malahan tai tidak lebih menjijikan daripada bergairah dengan saudara sedarah!

Tiba-tiba bibirnya berhenti menghisap leherku. Ia menatapku. Mata hazelnya yang tajam, mengunci fokus netraku padanya. "Kau ingin yang seperti apa?" tanyanya, mendidihkan darah dalam nadiku.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin kau pergi dari kamarku!" semburku masih dengan kewarasan yang terjaga.

"Aku akan pergi jika sudah waktunya pergi," balas Carlo.

Aku menggeleng tegas. "Tidak, Carlo! Go away, now! Atau aku adukan hal ini pada dad!" ancamku, berbalas kekehan mengejek darinya. Sebelah alisku terangkat heran melihat tawa merendahkan itu.

"Silahkan saja kau adukan kalau perlu semua yang pernah aku lakukan padamu," kata Carlo, langsung mengubah tatapan heranku menjadi terpengarah.

Tanda tanya tumbuh satu persatu di atas kepalaku. Bahwa, sejauh yang kukenal, sikap Carlo sebelumnya tidak pernah sampai ke titik sekarang. Tetapi mengapa semakin hari tingkahnya semakin mendekati level gila?

"Carlo, kau perlu ke dokter," ucapku khawatir. Hey, tidak ada saudara yang waras bertindak seperti ini kepada saudarinya.

"Ya. Kaulah dokterku, obatku, penyembuhku," sahut Carlo. Selalu ada saja balasan katanya.

Aku menggeleng lagi. "Kumohon menyingkir dari atasku," pintaku, menunjukkan sorot mata anak anjing yang memelas. Kuharap dengan cara ini, aku bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

"Tidak. Malam ini kau harus menjadi milikku."

"Tidak mau!" Tidak ingin kalah dari napsu iblis, aku mengerahkan tenaga memberontak. Seketika cengkraman menahan kedua tanganku yang bergerak agresif. Ia menahannya di kedua sisi kepalaku.

"Temani aku malam ini sebelum aku meninggalkanmu," kata Carlo. Tetap memaksa.  Perutku pun menjadi alasnya duduk.

Kata-katanya membelalakkan mataku. Jika saja posisiku tidak seperti ini, mungkin ucapan itu bermakna biasa saja. Namun aku bukan gadis lugu yang tidak mengerti apa-apa.

"Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku adikmu!"

Tiba-tiba ia menyatukan kedua tanganku ke atas kepala, sementara wajahnya mendekat ke arahku. "Aku tahu kau adikku. Karena itu, seorang adik harus menuruti semua perintah kakaknya," desis Carlo berbisik rendah. Melepas dasi dari kerah kemejanya. Ia mengikatkannya ke pergelangan tanganku yang masih berjuang terlepas.

"Tidak, Carlo! Kumohon! Lepaskan aku!" jeritku setinggi mungkin. Berharap ada yang mendengar suaraku dari luar.

"Teriak lah sebisamu," kata Carlo, justru menantang, seolah sama sekali tidak takut jika orang rumah mengetahui aksinya.

"Car---!" Belum selesai berteriak, bibirnya menelan seluruh suaraku dalam ciuman dalam. Membungkam sempurna mulutku dibawah kendali kuasanya. Timing yang tepat sekali di saat bibirku berteriak lalu ia menerjang masuk dengan cepat. Ia bertemu dengan lidahku.

Tanpa membalas, aku membiarkan ia mendominasi isi mulutku. Untuk sejenak aku beristirahat dari perjuangan tenaga yang sia-sia. Hingga ketika belaian lembut terasa di dalam piyama, detak jantungku kian menggila, tanda bahaya harus dihindari.

Aku menggeliatkan tubuh, tidak mau diam saja saat di lecehkan begini. Isyarat tubuhku pun penuh penolakan. Erang geramku menegaskan untuk berhenti.

Namun, yang aku ketahui setelah itu adalah, tangannya merambat naik ke belakang punggung dan pengait bra-ku terbuka.

***

Terjerat Hasrat Dua Kakak Where stories live. Discover now