Bab 17 - Kakak Idaman

1.4K 107 7
                                    

Ketika kaca jendela itu turun terbuka, aku melihat ke dalam mobilnya, dan seketika tercengang. "Kakak? Kenapa bisa ada di sini?"

"Masuk!"

Aku cemberut. Dengan terpaksa kubuka pintu mobilnya dan duduk di sampingnya.

"Pakai sabuk pengamanmu!" titah Carlo. Aku menuruti tanpa banyak komentar.

Kemudian Carlo melakukan mobilnya dengan mulus di jalanan raya yang lengang. "Kita mau kemana? Jalan ke rumah sudah terlewat," kataku.

"Ke tempat latihan," jawab Carlo.

Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kakak? Tempat latihan apa?" tanyaku.

"Kau akan tahu kalau sudah sampai," balas Carlo cuek. Aku manyun.

***

Kami berhenti di Archery Club. Tempat olahraga panahan.

Carlo membayar biaya masuknya lewat meja resepsionis. Kudengar biaya ke klub panahan sedikit lebih mahal dibandingkan biaya masuk ke golf. Ternyata isu itu memang benar ketika melihat sendiri Carlo membayarnya dengan black card untuk dua orang.

Setelahnya, Carlo menarik tanganku yang digenggam olehnya. Berjalan menyusuri interior modern hingga berhenti di ruang panahan.

Itu adalah tempat outdoor di mana target archery berada di luar sedangkan pemanah berdiri di beranda. Kuperhatikan lingkungan di sekitar, tidak banyak pengunjung di tempat ini. Relatif sepi. Mungkin memang kurang peminat di bidang olahraga ini. Biasanya orang-orang kaya memilih pergi ke lapangan golf.

Carlo mengambil busur panahnya. Dia memosisikan kakinya, berancang-ancang sambil mengangkat busur panah setinggi dada. Carlo menatap fokus pada target archery di kejauhan sana. Lalu panah dilepaskan dan meluncur cepat menembus titik tengah dengan tepat. Aku terpana.

Carlo melakukannya lagi untuk panah ke dua dan panah ketiga. Ketiga-tiganya tidak ada yang meleset. Semuanya tepat sasaran. Aku jadi terkagum-kagum pada kemampuannya itu. Sudah sejak kapan dia berlatih memanah, ya sampai bisa ke tahap seperti itu?

Seorang pelayan datang membawa nampan kecil berisi sebuah apel. Carlo mengambilnya. "Cecil, kemarilah," perintah Carlo. Aku melangkah mendekat. Kupikir apel di tangan Carlo hendak dimakan tetapi perkiraanku ternyata salah ketika dia mengatakan. "Bawa apel ini dan pergilah ke target archery."

Aku tertegun. Jantungku berdebar cepat. Otakku merespon sesuatu yang menakutkan. "Jangan bilang kakak ingin membidik apel ini di kepalaku?" tebakku.

Carlo tersenyum culas. "Kurasa seperti itu boleh juga. Kau punya ide bagus rupanya," kata Carlo menepuk pundakku. Entah mengapa aku merasa seperti terjebak dengan kata-kataku sendiri tadi. Mungkinkah maksud Carlo awalnya hanya ingin meletakkan apel ini di papan target?

"Ta-tapi, Kak... Aku takut. Jangan bercanda!" rengekku. Bagaimana kalau panahnya meleset ke otakku? Bisa mati seketika diriku!

"Percaya saja pada kakakmu. Kau sudah lihat tiga anak panah tadi kan? Tidak satu pun bidikanku meleset," paksanya.

"Tidak mau!" kekehku. Apa dia berniat membunuhku? "Aku mau pulang saja!" Aku ngambek. Aku takut sekali.

"Cecillia." Tiba-tiba dia mencengkram pipiku. "Lakukan sekarang atau aku akan marah," ancamnya. Sorot matanya nampak berkilat serius.

"Kalau aku mati, kakak akan masuk penjara loh!" balasku. Carlo hanya tersenyum kecil. "Kalau kau mati, aku juga akan mati, bodoh!" tandasnya mendorong dahiku dengan telunjuknya. Aku cemberut. Lantas berjalan dengan setengah hati menuju papan target.

Aku meletakkan apel merah ini di atas kepalaku. Dalam hati terus berdoa agar aku masih diberi kesempatan hidup.

Carlo tampak bersiap di sana. Dia mengarahkan panahnya padaku. Ketika panah itu meluncur, aku memejamkan mata dengan erat. Seketika kurasakan sesuatu melintas di sisiku.

Terjerat Hasrat Dua Kakak Where stories live. Discover now