Bab 6 - Lunch

2.3K 122 1
                                    


Kututup pintu kamar, dan termenung sedih. Langsung saja ambruk ke kasur, membiarkan wajahku ditelan bantal lalu mengerang kesal. "Arrrghh!!!" Rencana ingin mendekatkan hubungan kami, malah bubar jalan!

Ibaratkan seperti benang yang berusaha masuk ke lubang jarum. Padahal tinggal sedikit lagi Cedric dan aku jadi saudara yang akrab, tetapi aku menghancurkannya sendiri!

"Huaaaaa!" Sesal meresahkan perasaanku. Akhirnya hanya bisa berguling-guling di kasur sambil menyayangkan kejadian tadi. Mulutku terlalu jujur saat mengatakan pesannya sudah kubaca tanpa permisi dulu. Kalau saja aku tidak mengatakan hal itu tadi, akankah hubungan akrab kami terjalin?

Lelah menggiring kantuk. Aku memilih tidur dengan lampu tidur tetap menyala. Tenggelam dalam kenyamanan mimpi, sayup-sayup kudengar suara langkah seseorang mendekat.

Aku pikir ini adalah mimpi. Hampir sulit kubedakan antara kenyataan dan mimpi, karena setengah nyawaku sudah mengawang ketika merasakan kasur di sebelah bergerak. Menandakan kehadiran seseorang di sebelah, hingga sesuatu menyentuh wajahku berkali-kali. Sebuah kecupan yang berawal dari kening, lalu turun ke kelopak mataku, hidung sampai ke .... bibir!

Sontak kubuka mataku terbelalak. Ternyata benar. Yang kurasakan bukan mimpi. Melainkan kenyataan pahit! Karena tepat di sisiku adalah Carlo.

Wajahnya begitu dekat di atasku. Ia terdiam dengan tatapan sendu namun juga tajam. Meskipun sudah bertahun-tahun tinggal seatap dengannya, aku masih belum juga memahami pikirannya.

"Carlo...?" Terheran-heran aku panggil namanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Aku tak mengharapkannya berada di sini. Kumohon pergilah!

"Aku ingin tidur denganmu," jawabnya innocent.

"Kau punya kamar sendiri," ketusku mendorongnya menjauh.

Alih-alih menjawab, ia menarik selimut, menutupi kakinya bersamaku. Lengannya yang kekar kuat, menarik pinggangku ke dalam dekapan hangatnya. "Aku ingin tidur denganmu malam ini," bisiknya dari belakang, mengirimkan embusan napas yang menggelora aliran darahku, hingga gigitan kecil menjepit telingaku singkat. Menjijikan!

Menggeliat dari jeratan raga kekarnya, berniat menjaga jarak, tetapi kuncian tubuh Carlo melemahkan seluruh tenagaku menyerah. "Aku tak akan melakukan hal yang aneh jika kau menurut dan diam," tegasnya mengingatkan.

Aku menggigit bibir bawah dengan gugup. Sejak kehadirannya di sini, rasa kantukku mendadak lenyap. Sekarang aku harus berusaha tidur! "Carlo..." panggilku.

"Hmm?"

"Aku tak bisa tidur," ungkapku melirih.

"Kalau begitu hitung anak kita ada berapa," sahutnya begitu santai, mengirim pikiranku ke arah yang tidak seharusnya.

"Apa!" teriakku tak terima. Panas membakar wajahku. Kalau kubayangkan mungkin sekarang pipiku tampak merona.

"Ssst! Jangan teriak-teriak di malam hari. Nanti kau akan mengganggu tidur mereka," ujar Carlo, seiring dekapannya mengerat.

Aku tak bisa mengelak dari tubuhnya. Kuat merekat seperti lem gorilla. Kutarik napas dan mengembuskannya perlahan. Baiklah, akan kubiarkan Carlo seperti ini malam ini, selama ia tidak mengganggu tidurku.

***

Semua orang di depan mataku sibuk masing-masing dengan komputernya. Aku, Olivia dan Roma memandang kesibukan mereka sambil terbengong.

Terjerat Hasrat Dua Kakak Where stories live. Discover now