Empat

1.3K 125 20
                                    

Typo bertebaran, harap maklum

Selamat membaca.......

Aza tiba di mension milik keluarganya di waktu matahari telah terbenam sepenuhnya. Remaja cantik itu berjalan santai memasuki bangunan besar nan mewah di depannya, hendak langsung pergi ke kamarnya untuk segera mandi dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Namun langkahnya terhenti saat sebuah suara masuk dalam indra pendengarannya.

"Masih ingat pulang ternyata!"

Dingin dan begitu menusuk. Membuat Aza menghela nafas pasrah, lalu berbalik menghadap sang kakak yang menatapnya dengan muka datar andalannya.

"Lo buta atau apa? ini udah malam. Dari mana aja Lo, jam segini baru pulang?"

Aza menampilkan senyuman bodohnya mendengar suara dingin penuh intimidasi dari sang kakak itu.

"Abang nungguin Aza, ya? maaf ya bang, Aza tadi ada——"

"Cih, percaya diri banget Lo! nggak ada yang nungguin Lo, sialan!" sela Revan.

Aza langsung menunduk. Senyuman di wajahnya luntur seketika. Tidak bisakah sekali saja kakaknya tidak mengeluarkan kata laknat itu dari mulutnya? karena sungguh, sesering apapun ia mendengar, perasaannya tetap saja sakit.

"Kemana aja Lo, setiap hari selalu pulang malem? apa Lo jual tubuh ke om-om, setelah pulang sekolah? secarakan Lo butuh uang buat biayain kebutuhan, Lo."

Sakit. Hati Aza sangat sakit mendengarnya. Memang benar ia butuh uang untuk membiayai kebutuhannya, karena uang bulanan yang diberikan oleh orangtua mereka jumlahnya tidak seberapa dan bahkan untuk membayar uang sekolahnya saja tidak cukup. Tetapi, mau sebutuh apapun ia tidak mungkin melakukan hal hina itu hanya demi mendapatkan uang.

Revan tersenyum sinis melihat Aza yang terdiam. "Jadi tebakan gue benar? Cih, dasar murahan! Nggak ada gunanya Lo sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya Lo cuma jadi pelacur! Malu-maluin nama keluar——"

"Aku nggak seperti itu, Bang! Sebutuh apapun aku nggak akan mungkin lakuin hal hina itu!" untuk pertama kalinya Aza berani membentak dan menyela omongan Revan, juga berani bertatapan langsung dengan irish tajam milik sang kakak.

Revan mengepalkan kedua tangannya, kemarahan terlihat jelas di wajah tampan lelaki 23 tahun itu. Emosinya sangat tersulut karena gadis remaja di depannya sudah berani menyela omongan dan bahkan membentaknya.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Aza. Namun bukan Revan pelakunya, melainkan seorang wanita paruh baya yang baru saja datang menghampiri mereka.

"Bunda," panggil Aza dan Revan bersamaan, menatap sang pelaku yang tidak lain adalah Kania.

Plak!

Satu tamparan keras kembali mendarat di pipinya, membuat Aza meringis.

"Berani sekali kau membentak putraku, sialan!"

Kania menatap tajam Aza lalu kembali melayangkan tamparan keras di pipi putrinya itu.

Plak!

Aza berusaha sebisa mungkin menahan agar air matanya tidak tumpah. Karena seperti biasa, tamparan sang bunda tidak main-main sakitnya. Dan ditambah dengan kata laknat yang keluar dari mulut wanita yang sudah melahirkannya itu, membuat hatinya semakin sakit.

Diary Cinta ELVAZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang