4 - Anak Berwajah Lumpur

7.2K 1.2K 97
                                    

Hari ini tanggal merah, seluruh keluarga ada di rumah. Renza keluar dari kamarnya menuju dapur. Ia melihat Bi Jum sedang membuat jus. Anak itu mendekat, memperhatikan bagaimana buah-buah itu hancur tergolong pisau blender.

“Kok sampai begitu lihatnya?” Bi Jum bersuara.

“Hehe, gapapa sih Bi. Tapi kok banyak banget buat siapa?” Tanya Renza seraya membenarkan posisi berdirinya.

“Loh bukannya kalian mau pergi ke pantai ya?” Renza hanya terdiam.

Pantai? Renza merasa tak seorang pun mengajaknya pergi, apalagi ke pantai. Sudah lama ia tak mengunjungi tempat berombak itu.

“Sudah Bi?” Mama datang dengan tas pikniknya, membuyarkan lamunan Renza.

Terlihat ayah juga sudah siap untuk pergi. Tak lama muncul Juan dengan kaos, kemeja yang tak dikancing, dan celana pendek. Tidak lupa kaca mata hitam di kepalanya.

Jadi benar mereka akan ke pantai?

“Mau ke pantai ya, Ma?” Tanya Renza pada Riana.

“Enggak, kita mau ke rumah nenek. Kamu di rumah saja, kita nggak akan lama.” Jawab Riana seraya memasukkan tiga botol jus ke dalam tas lalu pergi.

Renza masih mematung, jadi benar dia tidak di ajak?

Dirinya lantas tersenyum sumir saat sadar bahwa rumah nenek searah dengan jalan menuju pantai. Renza yang malang.

“Renza, ini buat kamu ya. Bibi taruh di sini.” Bi Jum meletakkan segelas jus di meja lalu pergi.

Bibi tahu apa yang di rasakan Renza. Bibi juga kaget saat mengetahui bahwa Renza tidak diajak pergi oleh keluarganya, bahkan dibohongi seperti tadi.

Anak itu meneguk cepat jus buatan bibi lalu berjalan ke luar rumah. Awalnya ia hanya ingin menghirup udara pagi di teras, tapi kakinya membawanya sampai ke luar gerbang. Berjalan-jalan sebentar tidak akan masalah, Dion tidak akan tahu.

Ia berjalan cukup jauh, bahkan hingga keluar perumahan. Tak jauh dari perumahan ada sawah di dekat desa, ia belum pernah ke sana. Hanya sering melihat dari kejauhan setiap akan berangkat ke sekolah.

Ia duduk di sebuah gubuk di pinggir sawah. Menyaksikan burung-burung kecil terbang ke sana ke mari mencari makan. Di bagian lain ia melihat seorang laki-laki tua menggiring bebek-bebeknya ke sawah yang belum ditanami padi.

Percayalah, Renza iri dengan bebek-bebek itu. Melihat laki-laki tua itu menjaga para bebeknya agar tidak terpisah satu sama lain. Menggiringnya ke satu tempat agar mendapat makanan yang sama. Memperlakukan mereka dengan cara yang sama.

Pria tua itu juga tak pernah membentak bahkan menyalahkan satu bebek yang keluar dari barisannya. Yang paling membuat iri adalah ketika pria tua itu menggendong satu bebek yang kakinya terlilit tali. Pria itu sekalipun tak menyalahkan si bebek kenapa bisa sampai terlilit tali. Yang ada justru pria tua itu memindahkan si bebek ke tempat yang lebih aman agar si bebek tidak lagi terluka.

Bukankah seharusnya manusia bisa diperlakukan lebih baik daripada yang diterima bebek itu? Tapi kenapa keluarganya tidak memperlakukannya dengan baik? Renza tersenyum sumir.

Di tengah lamunannya dia di kagetkan oleh seorang anak yang terpeleset tepat di depannya. Anak itu terjatuh ke dalam sawah yang cukup dalam. Saat dilihat, wajahnya sudah penuh dengan lumpur. Renza praktis tertawa.

“Wah beraninya kamu tertawa. Tolong angkat aku, aku butuh bantuanmu.” Kata anak itu.

Renza berhenti tertawa lalu terdiam. Anaak itu lantas melihat Renza yang berdiri dengan tongkatnya.

Dear Renza [TERBIT]Where stories live. Discover now