7 - Matahari dan Sayap Pelindung

6.8K 1.1K 107
                                    

Pelajaran olahraga adalah hal yang tidak disukai oleh anak berkulit putih ini. Dia lebih senang pelajaran di dalam kelas karena tak mengharuskannya untuk berlari dan berjalan ke sana kemari. Seperti saat ini, dia harus mengikuti pemanasan yang dua kali lebih melelahkan daripada teman-temannya. Kakinya yang membuat dia lebih lelah.

Duduk di pinggir lapangan menyaksikan teman sekelasnya bermain basket dan lompat tali membuat rasa iri itu muncul. Ia pandangi kakinya, kenapa tidak bisa seperti mereka?

Wajahnya sendu, bahkan awan sampai berkumpul di atas kepalanya ikut merasakan kesedihan di hati Renza.

“Sstt!”

Renza tersentak saat seseorang menusuk pinggangnya dengan jari. Haidar. Ya, bocah itu kini sedang bersembunyi di balik pot besar tempat Renza bersandar. Renza keheranan mengapa anak ini selalu bisa keluar di jam pelajaran.

“Kok cemberut? Senyum dong. Gini nih.” Haidar berbisik kemudian menunjukkan senyuman yang begitu menghangatkan hati Renza.

Entahlah, tapi senyum Haidar adalah energi bagi Renza. Setiap melihat anak itu tersenyum ataupun tertawa, Renza jadi ikut bahagia. Perasaan yang buruk bisa langsung membaik begitu saja. Aneh, tapi rernza suka.

“Apaan sih kamu. Sudah sana masuk nanti ketahuan bu guru loh,” Renza mendorong pelan tubuh Haidar.

“Iya-iya, tapi senyum dulu. Hiii,” Haidar menarik kedua pipi Renza hingga bibir itu membentuk sebuah lengkungan indah. Bahkan mata Renza kini hampir menghilang.

“Nah gitu dong. Ya sudah, aku pergi. Dadahhh.” Haidar kemudian mengendap-endap kembali ke kelas. Renza terkekeh melihat kelakuan temannya tersebut.

Kesedihan di hati Renza hilang begitu saja setelah kehadiran Haidar yang tiba-tiba. Bagi Renza, senyum Haidar adalah obat. Kelakuan anak itu seperti baterai untuknya. Apapaun yang Haidar lakukan itu selalu bisa membuat Renza lupa akan sakit yang ia rasakan.

Baginya Haidar adalah matahari yang selalu memberikan cahayanya dengan tulus tanpa pamrih. Yang bisa menghangatkan tubuhnya saat ia dibekukan oleh dinginnya dunia.

Renza sayang Haidar.

Olahraga selesai tepat saat bel istirahat berbunyi. Renza memutuskan untuk pergi ke kantin duluan sebelum tempat itu dipadati oleh siswa. Ia terpaksa harus membeli sebungkus roti di sekolah karena tadi pagi ia melewatkan sarapan dan tidak membawa bekal.

Ternyata makanan di kantin enak-enak semua ya, Renza jadi ingin kembali lagi lain waktu. Karena jika setiap hari ia jajan, maka uang sakunya tidak bisa ditabung. Kalau ada keperluan mendadak pasti ia akan kesulitan karena tidak mungkin meminta pada ayah dan mama.

Renza segera menuju loker untuk mengambil seragam putih biru setelah membayar rotinya pada ibu kantin. Namun, betapa terkejutnya Renza saat melihat beberapa anak sedang memasukkan sampah-sampah ke dalam loker miliknya. Ia segera menghampiri mereka.

“Tolong berhenti. Kalian bisa mengotori baju seragamku. Berhen-”

BRUGGG.

Tubuh Renza tersungkur ke lantai saat salah satu dari mereka mendorongnya dengan kuat. Tongkat Renza di tendang kemudian mereka semakin banyak memasukkan sampah ke loker. Renza menari-narik celana si pelaku untuk menghentikannya.

BUG.

“Bocah edan!” Itu Haidar, memukul bahu temanya.

“Wah berani-beraninya.” Bocah yang diduga penyumbang terbesar di sekolah ini mulai mendekati Haidar sambil menahan rasa sakit di bahunya.

Haidar dengan wajah tengilnya membuat kuda-kuda. Bersiap jika bocah itu membalas pukulannya tadi.

“Aaaaa.” Bocah itu meringis kesakitan saat pukulannya mengenai dinding di belakang Haidar. Haidar dengan mudah menghindari serangan itu.

Dear Renza [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang