21 - Renza Nggak Salah, Yah...

4.9K 833 38
                                    

Juan meringkuk di lantai dengan wajah pucat dan keringat dingin yang membanjiri tubuhnya. Renza segera mendekati Juan dan membantunya bangun. Tubuh Juan begitu lemas bahkan sulit untuk mengeluarkan suara saat Renza memberikan pertanyaan mengenai keadaannya.

Renza berusaha memapah tubuh Juan yang jelas lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya. Ia dengan sekuat tenaga memaksa kakinya untuk kuat menopang tubuhnya dan sang kakak. Menuruni tangga dengan kaki yang bergetar, anak itu mencoba menjaga keseimbangan sebisa mungkin agar tidak terjatuh bersama.

Ia meneriaki nama Kang Mamat, namun tak ada balasan sama sekali. Ah, Renza lupa bahwa Kang Mamat jelas mengantar ayah dan mama ke luar kota. Mengambil ponselnya di saku, anak itu memesan taksi.

Kini tubuhnya juga ikut basah oleh keringat Juan, Renza sangat-sangat khawatir.

Tak lama kemudian taksi datang, Renza segera memapah sang kakak menuju mobil. Mobil berjalan dengan kecepatan cukup tinggi menuju rumah sakit terdekat. Wajah Juan semakin memucat dan tak henti-hentinya merintih.

“Argghh.” Rintih Juan.

Pria itu tanpa sadar menggenggam tangan sang adik. Renza menatap nanar genggaman itu, tangannya nampak kecil saat dipegang tangan Juan yang lebih kekar.

“Sebentar lagi sampai, Kakak tahan dulu ya.” Tutur Renza.

“Sa-kit, Ren...” Cicit Juan.

Untuk pertama kalinya Juan mengeluh pada adiknya ini. Untuk pertama kalinya Juan lemah di hadapan sang adik yang selalu dianggapnya lemah.

Hati Renza seperti disayat dengan pisau kecil yang sangat tajam. Sakit sekali rasanya melihat seorang Juan tak berdaya seperti ini. Rasa sakit di hatinya akibat perbuatan kejam Juan hilang tergantikan rasa sakit yang lain, sakit melihat Juan kesakitan.

Mobil berhenti tepat di depan ruang UGD, Renza di bantu pak supir memapah tubuh Juan. Dua orang perawat dengan sigap membantu Juan duduk di kursi roda selepas keluar dari mobil. Mereka segera membawa Juan masuk ke UGD untuk ditangani dokter.

Renza menunggu dengan cemas di samping ruangan Juan diperiksa. Dia tak henti-hentinya merapalkan doa untuk keselamatan sang kakak. Sambil menunggu anak itu menghubungi Dion untuk memberitahu bahwa Juan masuk rumah sakit.

Seorang pria dengan jas putih dan stetoskop di lehernya keluar menemui Renza. Dokter itu mengatakan bahwa keadaan sang kakak sudah lebih baik dan sudah bisa dijenguk. Namun, dokter itu meminta agar wali dari pasien segera menemuinya karena ada hal penting yang ingin disampaikan.

Juan berbaring dengan tangan yang sudah dipasang selang infus. Wajahnya masih pucat, tapi tak sepucat sebelum di bawa kesini. Renza mendekati sang kakak yang sedang memandangi langit-langit.

“Kak, sudah merasa lebih baik?”

Juan mengalihkan pandangan kepada sang adik, ekspresinya datar. Pria itu hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Renza tadi takut banget kalau Kakak sampai kenapa-napa. Sekarang Renza lega, karena Kakak sudah merasa lebih baik.” Anak itu tersenyum pada Juan.

Tapi, pria itu hanya diam tak membalas ucapan adiknya. Dia hanya memandang Renza lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Renza tak ingin berpikir macam-macam, mungkin kakaknya ini masih menahan sakit di perutnya sehingga tidak ingin banyak bicara.

Seorang suster datang mengatakan pada Renza bahwa Juan harus dipindah ke ruang rawat inap. Kondisinya masih harus dipantau dokter untuk beberapa hari ke depan. Anak itu kemudian mengikuti para suster yang membawa Juan menuju kamar inapnya.

Kini hanya ada kakak beradik itu di sebuah kamar VIP yang ternyata sudah dipesan sang ayah setelah Renza menghubungi tadi. Juan masih diam belum membuka suara untuknya. Dia juga hanya bisa diam menunggu kedatangan Dion dan Riana.

Dear Renza [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang