41 - Terlambat

7.3K 844 66
                                    

Di sore yang temaram dengan kelabu yang menggelayut di angkasa, hujan dengan derasnya mengguyur kota. Di lindungi payung bewarna biru, perempuan cantik itu menjinjing sedikit roknya agar tak basah terkena air.

Dengan tenang ia melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Bahkan ia masih sempat membalas beberapa pesan yang masuk dari tim tempatnya bekerja. Dirinya belum tahu bahwa salah satu putranya telah berpulang ke pangkuan Tuhan.

Riana menuju kamar yang sehari sebelumnya sudah diberitahu oleh Dion. Dengan langkah pasti perempuan itu masuk ke ruangan yang tadinya penuh dengan isak tangis kini menjadi sunyi bak tak berpenghuni.

Pintu terbuka menampilkan Riana yang masih angkuh dengan dagunya yang terangkat. Dion duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Zoya berada di antara Juan dan Haidar, gadis itu masih ditenangkan oleh dua pria di sampingnya. Meja di depan mereka juga sudah rapi oleh tas peralatan lukis, pakaian bekas kecelakaan, dan sebuah permen kapas yang masih belum disentuh pemiliknya.

Dion mendongak saat Riana sudah berdiri di dekat brankar. Pria itu menatap dingin sang istri. Riana masih belum bisa memahami situasi yang ada.

"Mas, anak itu di mana? Kamu bilang dia kecelakaan."

Dion masih diam, ia tidak menjawab.

"Ini kenapa pada diem sih?"

"Renza sedang disucikan." Dion akhirnya membuka suara setelah lama diam.

Renza sudah dibawa ke kamar jenazah satu jam setelah menunggu Riana yang tak kunjung datang. Sampai saat itu Dion maupun Juan tak memberi kabar apapun pada Riana.

"Disucikan gimana maksud kamu Mas?"

Riana mendekati suaminya. Dion lantas meraih permen kapan titipan Renza. Pria itu menyerahkan makanan manis itu pada istrinya dengan tangan yang sedikit gemetar.

"Ini buat kamu, titipan dari Renza sebelum dia meninggal."

Satu kalimat itu baru bisa membuat Riana paham tentang apa yang sudah terjadi. Tangannya menerima permen kapas itu dengan gemetar. Matanya kini memanas, tapi masih ingin menyangkal fakta yang baru saja ia dengar.

"Enggak, enggak. Di mana anak itu sekarang Dion? DI MANA RENZA MAS?!"

Riana berjalan gusar membuka toilet. Ia berharap putranya ada di dalam sana. Saat ia tidak berhasil menemukan Renza di ruangan itu Riana mendekati Zoya.

"Zoya sayang, bilang sama Tante sekarang. Di mana Renza? Di mana pacar kamu itu?"

Juan mencoba menjauhkan tubuh mamahnya dari Zoya. Gadis itu begitu tertekan sekarang, apalagi ditambah kondisi Riana yang seperti sekarang.

"Renza ada di kamar jenazah, Tante. Renza sudah pergi jauh dan tidak akan kembali ke dunia lagi." Balas Zoya dengan suara yang bergetar. Suara yang hampir habis karena menangis.

Riana praktis terjatuh, kakinya seperti tak bertulang. Matanya juga mulai basah, ia menggenggam erat tangkai permen kapas pemberian putranya.

Dion lantas memeluk tubuh istrinya. Riana masih diam tak menyuarakan apapun. Otaknya terasa berhenti. Lidahnya seolah tak mampu untuk diajak bicara.

Perempuan itu menarik-narik baju suaminya, merengek untuk dipertemukan dengan Renza. Dion lantas memapah Riana menuju ke ruang jenazah. Di susul oleh tiga orang di belakangnya.

Sebuah mobil jenazah telah siap, beberapa perawat mendorong brankar dari ruang menyeramkan itu. Riana langsung berlari menubruk tubuh Renza yang sudah terbaring kaku.

"Renza, ini Mama sayang. Ayok bangun, kita makan permen kapas ini bersama-sama." Ucap Riana seraya mengusap kepala Renza.

"Bangun, Nak. Renza kita pulang yuk, Mama buatkan kue yang enak untuk kamu. Ayok sayang." Riana menepuk-nepuk pipi dingin bungsunya.

Dear Renza [TERBIT]Where stories live. Discover now