Bab. 15

2K 174 30
                                    

Rasa iba melingkupi Arkha begitu melihat Dita berurai air mata. Mobil yang dikendarainya baru saja keluar dari kompleks perumahan orang  tua Dita. Di pinggir pelataran SPBU yang sudah tutup Arkha menepikan mobilnya. Butuh waktu beberapa detik bagi Arkha untuk menyerongkan tubuhnya, mendekat pada Dita. Tangannya terulur ke belakang kepala gadis itu, lalu dengan lembut membawa gadis itu ke pelukannya.

Tepat saat kening Dita menyentuh pundaknya, Arkha merasakan kepala itu bergetar teratur akibat isak tangis. Tadinya ia ingin mencoba menenangkan, tapi kini bibirnya terkatup rapat dan memilih membiarkan Dita menumpahkan emosinya sampai puas.

Seiring dengan tangisnya yang berangsur reda, Dita menyadari ia membasahi jas hitam milik Arkha dengan air matanya. Tidak sadar bagaimana jelasnya ia bisa masuk ke dalam lingkaran lengan pria itu. Yang ia ingat, pria itu yang memintanya untuk tidak memaksakan diri, menimbun semua kesakitan di dalam dada hingga sesak meraja.

Perlahan Dita melepaskan diri dari rengkuhan Arkha. Tetap menundukkan kepala, dengan lirih mengucap maaf pada pria itu. Tidak terdengar sahutan Arkha, karena pria itu hanya menggelengkan kepala pelan. Ia sungguh tidak keberatan meminjamkan dadanya pada Dita.

"Benar, kata Pak Arkha tadi. Ibu memang suka marah kalau anaknya pulang kelamaan." Dita terkekeh saat mengatakannya.

"Maaf, karena menemani saya berbelanja tadi, kamu jadi terlambat pulang," sahut Arkha menyesal.

Dita sontak mengangkat wajah, ia tersenyum lalu menggelengkan kepala, "Bukan Pak, bukan salah Pak Arkha. Sebenarnya mau saya pulang cepat atau lama, ibu memang seperti itu."

Arkha mengingat lagi, bukan kali pertama ia melihat sikap ibu Dita seperti itu. Di hari ia menolong Rany juga ia mendapati Ibu Dita dan Rany itu memarahi dan menyalahkan Dita atas apa yang menimpa Rany. Padahal, Dita sama sekali tak bersalah. Ia yang tidak tega melihat Dita disalahkan, memutuskan membantu Dita dengan berbohong pada Ibu Dita kala itu.

"Seperti yang Pak Arkha katakan malam itu. Kenapa saya tidak mengikuti jejak Rany saja sebagai seorang selebgram. Ibu saya juga mengharapkan hal itu terjadi. Ibu berpikir karir saya tidak sebaik Rany. Tapi, bagaimana lagi, saya juga tidak bisa menjadi 'Rany'."

"Menurut saya, karir yang kamu tempuh selama ini sudah sangat baik. Bahkan kamu sudah menduduki posisi Deputi Manajer, kemarin. Kamu sudah melakukan yang terbaik, Dita," balas Arkha.

"Tetapi tidak untuk ibu saya, Pak. Rany yang paling memenuhi harapannya. Rany yang mampu mengangkat derajatnya. Bukan saya. Di matanya, saya tidak lebih dari seorang anak sulung yang gagal."

Arkha terdiam. Membayangkan betapa sulitnya menjadi Dita. Gadis itu memulai karirnya sejak nol, bertahun-tahun bekerja hingga menempati posisi Deputi Manajer. Namun, semua pencapaian itu justru tidak dianggap sama sekali oleh ibunya sendiri.

"Ayah saya meninggal sejak Rany berusia tiga tahun. Ibu menjanda sejak itu, sendirian membesarkan saya dan Rany. Ibu memilih tidak menikah lagi, ia fokus bekerja untuk menafkahi kami. Sisa warisan Ayah digunakan ibu untuk membayar biaya pendidikan saya di perguruan tinggi."

"Memang saat itu pemikiran Rany jauh lebih dewasa dari saya, ia memilih memunda kuliah begitu ia lulus sekolah. Ternyata pilihan Rany itu membawanya pada profesinya sekarang. Ia memang berbakat. Tanpa perlu menghabiskan uang ibu untuk kuliah, ia bisa menghasilkan uang jauh di atas saya. Harapan ibu pada saya memang setinggi itu. Dan, salah saya yang tidak juga bisa mencapainya sampai detik ini," lanjut Dita lagi.

Dita and The Boss✅| Lengkap Di KaryakarsaWhere stories live. Discover now