Bab. 29

1.4K 208 51
                                    

Dita berpisah dari Arkha, saat pria itu mendapat panggilan dari kakeknya. Meski begitu, Arkha memberi pesan pada Dita untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, menikmati liburan singkatnya ini. Arkha juga mengatakan akan mengajak Dita berjalan-jalan keluar dari resort sore nanti.

Dita tidak langsung kembali ke kamarnya, ia memilih kembali ke kebun bunga hydrangea yang lokasinya masih di area resort dan berdiam diri di sana. Sejauh matanya memandang di tempat ini, selalu tersaji keindahan, membuat ia merasa betah. Ia menyesali meninggalkan ponselnya di kamar karena terburu-buru tadi. Seharusnya ia bisa mengambil gambar untuk kenang-kenangan.

Setelah cukup lama duduk dan mendapati awan mulai menghitam, Dita beranjak dari bangku panjang yang ia duduki itu. Ia berjalan kembali menuju kamarnya sambil tersenyum sendiri mengingat sikap Arkha padanya yang mulai banyak berubah. Sikap Arkha padanya belakangan ini yang membuat ia berharap kalau Arkha membalas perasaannya.

Sampai di depan pintu kamarnya Dita baru menyadari ia kehilangan kunci kamarnya. Ia sudah mencari di kedua saku dressnya tapi tidak ia temukan. Gerimis mulai turun, tapi dengan terpaksa ia kembali turun ke bawah menyisir jalan yang ia lewati tadi dengan Arkha, berharap menemukan kunci kamarnya. Dita yang tidak kunjung menemukan kunci kamarnya itu pun kembali memutuskan menuju saung tempat ia sarapan bersama keluarga Arkha tadi.

Beberapa langkah menuju saung, Dita melihat dua pasang sandal ada di sana, yang salah satunya Dita kenali sebagai milik Arkha. Hingga ia mendengar suara seorang wanita yang ia ketahui milik Vina. Dan, yang membuat Dita menghentikan langkah, ia mendengar namanya sendiri disebut di dalam obrolan kakak beradik itu.

"Iya, Dita. Dia menyukai kamu, kan. Dan, Kakak tahu kamu cukup peka untuk menyadarinya." Suara Vina lebih dulu terdengar.

"Iya, aku tahu sejak awal, Teh." Jawaban Arkha membuat Dita membulatkan mata. Sejelas itukah perasaan yang ia punya untuk Arkha, pikirnya.

"Lalu?" tanya Vina.

"Lalu apa?" Terdengar Arkha balas bertanya. "Teteh berpikir aku juga menyukainya?" Arkha terkekeh di ujung pertanyaannya.

Tubuh Dita kaku untuk sesaat. Bahkan saat gerimis berganti menjadi rintik hujan ia tetap berdiri di sana, mencoba memastikan ia tidak salah paham dengan jawaban Arkha.

"Dengan semua sikap yang kamu tunjukkan, siapapun akan berpikir kamu memiliki perasaan khusus buat dia Arkha."

"Teteh tahu aku tidak semudah itu menyukai seorang perempuan. Apalagi aku baru mengenalnya. Kami hanya berteman. Aku memberinya hadiah ulang tahun menginap di sini karena beberapa hari belakangan, dia seperti sedang memiliki masalah dan aku berpikir dengan mengajaknya berlibur di sini itu akan memperbaiki kinerjanya nanti. Hanya itu."

"Jadi, sebatas urusan pekerjaan? Yakin, tidak ada hal lain?" Vina terdengar terus mendesak adiknya. "Untuk kesan pertama Teteh pada Dita, menurut Teteh, Dita cukup baik."

"Iya, dia memang baik. Tapi seperti yang Teteh tau, semua orang yang mendekatiku dan bersikap baik hanya karena ada maunya. Bahkan Kakekku sendiri!" jawab Arkha sarkas.

Tidak terdengar sahutan dari Vina. Dan, Dita mulai melangkah mundur. Mengurungkan niatnya untuk mencari kunci kamarnya yang ia kira tertinggal di sana.

"Siapa yang bisa menjamin dia akan tetap menyukaiku, kalau aku bukan seorang Direktur Utama. Semua orang luar yang mendekatiku hanya karena melihat aku sebagai bagian dari keluarga Wisesa," tambah Arkha diantara suara hujan yang bertambah deras.

Dita menutup kedua telinga, merasa tak sanggup lagi untuk mendengar lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bersama rasa kecewa karena penilaian buruk Arkha akan dirinya.

Wanita dengan dress biru cerah itu berlari membelah derasnya guyuran air yang turun dari langit. Tak lagi menghalau air matanya, membiarkannya bersatu padu dengan air hujan yang turun. Ia terus saja berlari, tidak peduli dengan jalanan yang mungkin licin dan berpotensi membuatnya terjatuh. Karena, ia sudah lama terjatuh.

Jatuh hati pada sikap dingin dan kaku yang Arkha miliki. Jatuh cinta pada sedikit sikap hangat dan perhatian yang Arkha tunjukkan padanya. Dan hari ini, ia kembali dibuat jatuh oleh Arkha. Jatuh, sejatuh-jatuhnya pada jurang kekecewaan yang begitu dalam.

Mengapa pilu selalu bermuara di hatinya. Seolah dirinya tak pantas mencicip bahagia. Sejak awal ia memantapkan hati untuk tidak terlena dengan sikap baik Arkha. Namun, nyatanya ia hanyalah wanita yang haus perhatian dan kasih sayang. Meski tak seberapa yang Arkha berikan. Faktanya, Dita kalah dengan prinsip yang ia buat sendiri. Perasaan cinta yang dulu ia hindari pada akhirnya berbalik mencabik-cabik hatinya sendiri.

Sial. Sial. Sial. Dita terus memaki-dalam hati-pada dirinya sendiri. Mengapa menjadi naif selama ini. Mengharap akhir cerita yang baik dari perasaannya yang tak akan pernah memiliki masa depan itu. Seperti sekarang, berakhir pupus di tengah jalan.

Dita tidak lagi peduli pada dua resepsionis yang menatapnya aneh. Ia melaporkan kehilangan kunci kamarnya dalam keadaan yang basah kuyup. Tak menunggu lama, staf resort memberinya kunci cadangan. Membuat Dita merasa bodoh sendiri karena sempat membuang waktu demi menyusuri jalan untuk mencari kunci itu. Bahkan ia sampai mendatangi saung tempat ia sarapan tadi, hingga membuatnya mendengar percakapan menyakitkan kakak beradik itu.

Dita akhirnya bisa kembali memasuki kamarnya. Jika beberapa jam yang lalu ia merasa bersyukur bisa ada di tempat ini, sekarang tidak lagi. Dita justru merasa ingin segera menghilang dari sini. Dita merasa tidak punya muka lagi di depan Arkha. Tepatnya, Dita tidak ingin melihat wajah Arkha lagi. Setidaknya untuk saat ini.

Air mata kian menetes. Dita terduduk di lantai yang dingin masih dengan mengenakan pakaiannya yang basah. Tidak menyangka pemikiran Arkha padanya sekejam itu. Tidak mau membuat tubuhnya menyusul hatinya yang sudah sakit lebih dulu, Dita memutuskan untuk mengganti baju. Saat duduk di atas tempat tidur, Dita mengambil ponselnya yang sudah terisi penuh. Bersama Arkha, mampu membuatnya melupakan ponsel yang termasuk benda penting dalam hidupnya itu.

Namun, baru beberapa detik ponsel Dita menyala sempurna. Masuk panggilan telepon dari Arkha. Membuat Dita tanpa berpikir lagi meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas. Lantas berbaring di atas tempat tidur, memunggungi ponselnya lalu menarik selimut hingga ke sebatas dada. Kaca jendela yang membentang di depan matanya masih menampilkan hujan di luar sana. Entah apa tujuan Arkha menghubunginya, Dita tidak mau tahu. Bahkan jika itu urusan pekerjaan, Dita tidak peduli.

Hingga akhirnya dering panggilan masuk yang berulang itu pun berhenti beberapa saat. Dita kembali membalikkan tubuh, meraih ponselnya di atas nakas.

Arkha : Dita, sudah waktunya makan siang. Saya tunggu kamu di restoran.

Dita membaca pesan itu lalu mendengus kesal membayangkan tidak akan mampu menelan makanan jika menghabiskan makan siang bersama Arkha.

Dita : Saya pesan dari kamar saja, Pak. Di luar sedang hujan.

Pesan itu langsung terkirim. Dibuka, serta dibaca saat itu juga oleh si penerima, Arkha. Tanpa Dita tahu pria itu sengaja menjemputnya hingga ke depan kamar. Pegangan tangan Arkha pada gagang payung mengerat saat membaca pesan penolakan dari Dita untuk makan siang bersama. Tangan kirinya kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Sementara tangan kanannya masih bertugas memegangi payung yang sejak tadi melindunginya dari derasnya hujan. Berbalik badan, Arkha beranjak pergi dari depan kamar Dita.

TBC

Asalamualaikum, terima kasih buat temen-temen yang meninggalkan jejak. Terima kasih banyak-banyak juga buat yang udh dukung aku di KK.

Dita and The Boss✅| Lengkap Di KaryakarsaWhere stories live. Discover now