BAB 1 : Kayla

232 56 373
                                    

Apa kamu tahu? di samping liburanmu sebagai mahasiswa, para dosen dan tidak kecuali aku, sedang sibuk mengurusi nilai UAS-mu, jurnal perkuliahanmu, bahkan sampai-sampai merelakan waktu istirahatku demi mengurusi kurikulum mata kuliahmu sudah menjadi hal yang biasa dalam hidupku beberapa hari belakangan.

"Mbak Kayla, jangan lupa nanti bantu Saya ya, asistensi jam 10.00 besok," bisik Bu Meike, aku menganggukkan kepala. Begitu juga dengan suara-suara ketikan yang harus kudengar setiap hari. Keluhan, materi-materi terbaru, hingga rapat pimpinan seperti sekarang.

Keinginanku untuk menguap mulut secara lebar-lebar memang ada di dalam benakku. Namun, aku mencoba agar tidak terlihat kantuk, karena aku satu ruangan dengan Pak Rektor. Yah, bisa-bisa aku didamprat bila aku tertidur pulas.

Kumencuri pandangan ke arah arloji yang tersemat di tangan kiriku, kini sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Normalnya, waktu perkuliahan sudah selesai. Tetapi, entah yang ada dibenak Pak Rektor yang sudah Professor nan mulia itu.

Sudah jam segini, bisa-bisa aku pulangnya telat.

Telat dalam arti, bisa duduk dengan tenang dalam KRL*, maksudku. Faktanya, kalau pulang di atas jam 16.30 kereta KRL atau transportasi apa pun, pasti akan selalu padat dikerumuni orang-lebih tepatnya, kamu bisa menjadi pepes ikan yang diberi nyawa. Plus, kamu enggak boleh protes kalau mencium aroma semerbak aroma bubur ketiak, andaipun di gerbong wanita kamu harus menghadapi ibu-ibu yang saling bersikutan dengan agresif, hingga kamu harus berdiri berjam-jam dengan sesaknya orang-orang.

Ya, kamu enggak salah baca kok.

"Untuk kesimpulan dari rapat ini, rapat akan dilanjutkan lagi pada hari esok jam satu siang. Dengan catatan, Bapak Ibu diharapkan untuk membawa perangkat berupa laptop dan catatan untuk simulasi kurikulum terbaru," terang Pak Jani, selaku notulen dari rapat yang diadakan sekarang ini.

Aku dan semua orang di ruangan ini membereskan perlengkapan masing-masing, hingga beberapa dari mereka juga telah beranjak dari kursi yang mereka singgah. Aku merasa sebuah tangan mendarat tepat di bahuku,

"Mbak Kayla," titah Bu Meike, aku pun menengok ke arah beliau untuk merespon panggilannya.

"Ya, Bu?" Tanpa basa-basi, Bu Meike berbicara padaku.

"Mbak, bisa ke ruangan Saya setelah ini? Ada beberapa hal yang Saya ingin bicarakan," jelasnya. Kalau sudah begini, aku tidak mungkin bisa menolak. Karena, kalau Bu Meike sudah berbicara dengan nada dingin, pasti ada dua kemungkinan yang akan terjadi padaku;

Antara akan terjadi perbincangan serius yang tidak bisa diajak bercanda, meski Bu Meike suka bercanda. Akan tetapi, dalam hal ini Bu Meike sudah sangat serius. seribu persen. Atau kemungkinan terburuk, poin ke dua: Misuh. Alias, kamu akan mendengarkan hal-hal yang tidak mengenakan, tidak menyenangkan, atau ... bisa saja kamulah yang diomelin tanpa sebab kalau kamu menanyakan lebih jauh.

Kutelan ludah dalam-dalam, aku segera beranjak dari bangku dan langsung berjalan cepat menuju ruang ketua program studi. Pikiranku sudah terlampau kusut, tetapi ada hal yang aku prioritaskan bila ini sudah terjadi; "Buatkan kopi panas beserta kudapan manis sebelum Bu Meike mengomel."

Langkah cepat menuju ke ruang pantry, tanganku dengan tangkas meracik kopi hitam dan mengambil kudapan manis yang ada di meja tengah yang berhimpitan dengan dispenser air. Lalu, jari-jemariku sibuk menganduk kopi panas sebayak 40 kali putaran dengan arah jam-agar tercampur sempurna dan larut dengan gula, katanya Bu Meike. Aku bergegas kembali menuju ruang ketua program studi, kebetulan Bu Meike menyusul beberapa menit setelah kuhidangkan kopi hitam panas serta kudapan favoritnya, yaitu biskuit kelapa kebanggaan 'yang-Mama-tahu-sendiri.'

TRANSIT!Where stories live. Discover now