BAB 4 : Adam

88 20 142
                                    


Tidak ada henti-hentinya notifikasi teleponku bergetar, untung saja aku sudah sampai di kantorku-lebih tepatnya "hutan rimba". Karena tentu saja kamu enggak pernah terjadi di tempat itu.

Seperti sekarang, Faiz yang tadinya teman kerja yang paling kalem mendadak menjadi banyak tanya seperti sekarang.

Sore-sore begini rapat? Serius? Ah, pasti enggak jauh-jauh dari ribut antara tim UI Writer* dan Front-End Engineer*

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Sore-sore begini rapat? Serius? Ah, pasti enggak jauh-jauh dari ribut antara tim UI Writer* dan Front-End Engineer*. Tunggu, tetapi aku, Faiz, Risa kan bagian back-end*? Ah, sudahlah. Apa pun itu, aku harus menghadapinya.

Aku memasuki lift yang kosong, lalu kutekan tombol 12A dan pintu itu terutup sempurna. Dalam perjalananku, diriku masih memikirkan perempuan yang bernama Kayla tadi. Walau dia jauh lebih pendek sebahu, tetapi entah mengapa perempuan itu sangat terlihat sopan dan sorotan matanya sangat cantik-kurang lebih, matanya seperti mata kucing.

Kayla. Aku tidak tahu siapa kamu, tetapi terima kasih. Berkatmu, hariku menjadi sedikit cerah dan tidak memusingkan lagi. Walau sampai sekarang hati tidak bisa diajak kompromi dan dari pantulan dari lift terlihat kupingku yang memerah.

Hangat, mendebarkan sampai jantungku rasanya ingin copot. Ah, sudah lama aku tidak merasakan sensasi seperti ini, sejak setelah lima tahun lalu bersama perempuan itu. Aku berharap kelak bisa dipertemukan lagi. Menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal bodoh, duduk dengan Kayla sepulang kantor sepertinya bukanlah ide yang buruk.

Tunggu. Mengapa aku jadi melankolis seperti ini? Tahi gajah. Sepertinya aku butuh cuti.

Kugelengkan kepala dan merapikan sedikit rambutku yang kusadari belum tersisir rapi saat di rumah, lalu suara lift berbunyi lalu terbuka di lantai 12A. Aku melangkah menuju space kantor, dan terdengar dari meja resepsionis, ada suara-suara yang sangat amat kacau.

Suara dentuman kencang lagu dangdut koplo, orang yang berdesas-desus keluhan mereka, bahkan derap kaki cepat yang kesana-kemari. Dari kejauhan, kulihat Alvin dan Soraya dari tim Administrator berpapasan denganku.

"Oh, hei Dam," sapa Alvin yang memegangi beberapa berkas di tangannya, begitu Soraya yang tersenyum padaku. Oh, aku lupa bilang padamu. Soraya adalah sosok perempuan yang menakutkan, bahkan melebihi Haikal. Memang tampilan di luarnya biasa saja, seperti perempuan berumur 20-an, tetapi dingin bukan main.

Dia bukanlah perempuan yang sembarangan. Jarang bergaul, nyaris tidak pernah bercakap dengan teman sekantor kalau bukan urusan pekerjaan, tetapi kalau sudah kesal pasti perkataannya bisa menusuk berkali-kali. Lebih tepatnya, sosok "I-do-not-give-a-F". versi perempuan. Itulah dia. Sedangkan Alvin? Dia sesama teman pekerja denganku.Dia cukup populer karena selain juga dengan tampang memang tidak pernah bohong, prestasi kerjanya sudah diakui banyak pekerja hingga aku sering kali dianggap saingan dengannya di kalangan staff di sini.

Tetapi kamu tahu? aku tidak menganggapnya sebagai sainganku. Toh, dia beda ranah denganku. Jadi buat apa saling bersaing dengan Alvin? Aneh-aneh saja rumor yang beredar.

TRANSIT!Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon