BAB 13: Kayla

30 9 42
                                    

Setelah kukirim pesan singkat kepada Adam, dan belum lagi ditambah kejadian Astrari yang memfitnahku dengan hal yang tidak mendasar, membuat batas kesabaranku kian menipis—bahkan ingin sekali aku berteriak atau mengomeli seseorang, tetapi tidak mungkin juga aku memarahi orang random di depanku. Jika di ibaratkan, mungkin hari ini aku merasakan seperti menumpangi kereta roller coaster yang tidak ada hentinya.

Kegilaan tidak berhenti di situ saja, kawan.

Lihatlah saat ini. semua orang—bahkan tidak memandang usia ataupun jenis kelamin, aku bersama mereka yang berdesak-desakan di dalam koridor peron untuk menuju arah yang sama.

"Bang, itu kenapa sih di tutup? Ya elah! Nyusahin amat!" keluh dari entah mana suaranya, banyak yang mengeluhkan pula tentang jadwal kereta yang makin hari kian melambat, ada juga seorang ibu yang menggosok-gosokan minyak angin untuk menghilangkan rasa enek dan pusing.

Di tengah desakan orang-orang, ponselku bergetar. Lalu kulihat notifikasi telepon yang rupanya dari Adam yang meneleponku.

"Halo?"

"Lo sudah pulang, Kay?" tanya Adam. Bisa-bisanya dia bertanya padaku seperti itu, padahal aku sudah sangat ingin untuk sendiri—yah, untuk diriku bisa jauh lebih "waras" setidaknya aku harus memberi jarak kepada pria yang berbahya bagi hatiku.

"Iya, aku mau pulang nih," ujarku dengan menahan desakan yang semakin tidak keruan.

"Gue cuma iseng nanya kabar aja sih." Dasar menyebalkan, kupikir dia akan mengajakku kencan atau jalan-jalan. Nyebelin.

"Oh, ya sudah, kalau begitu aku matiin ya teleponnya," balasku dengan rasa sebal.

"Jangan! Gue enggak tahu harus ngomong gemana ke lo, tapi cuma mau ngomong—kalau gimana kita ketemuan? Lo lagi di Stasiun Manggarai kah?" tanya Adam terdengar gugup. Aku tidak bisa membayangkan pria besar itu tampak malu, pasti sangat imut dan juga menggemaskan.

"Iya, ya sudah, aku melipir dulu di dekat musholla lantai dua," balasku dengan mencoba berjalan untuk keluar dari kerumunan.

"Oke," balasnya dengan menutup telepon.

***

Sudah beberapa menit berlalu aku menunggu keberadaan Adam, dia pun berjalan ke arahku dari kerumunan orang yang berlalu-lalang. Entah mengapa, Adam terlihat semakin menarik hari ini. apakah ini aku seperti kecanduan melihat orang ganteng atau ... mungkin saja terlihat eye candy? Sudahlah, semakin lama kutatap dia, bisa membahayakan hati dan kewarasanku.

"Kayla," sapa Adam yang mendekatiku. Lucunya, wewangian yang melekat pada Adam membuatku hapal akan keberadaan orang itu—aroma citrus, mint? Atau cheddar wood? Ah, abaikan ruminasi dan detak jantungku yang semakin berdebar-debar kacau dalam diriku.

"Ah—iya, Dam," balasku yang tidak kupungkiri akan menjadi gugup di hadapannya.

"Enggak seperti biasanya, lo kenapa, Kay? Banyak pikiran kah? It's okay lo bisa ngobrol ke gue kok, gue siap dengerin lo," tawar Adam yang tengah duduk di sampingku dengan santai. Sial, andai Adam tahu seberapa berdebar-debarnya diriku akan ulahnya, aku akan kabur dari sini. Ya Tuhan.

"Oh, aku enggak apa kok, cuma kepikiran makan malam apa, soalnya sudah lapar juga," bohongku untuk menutup-nutupi yang sebenarnya terjadi pada diriku. Aku berusaha untuk membuang wajah dan melihat ke arah sembarang agar aku bisa tetap menjaga image diri di hadapannya.

"Jadi lo lapar? Cari makan bareng yuk," ujar Adam yang seketika menatapku dengan lamat.

Astaga. Kenapa jadi begini sih? Memang aku telah kehabisan kata-kata, hingga bohong pun aku tak mampu untuk menjadi "tenang". Di hadapan Adam.

TRANSIT!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang