BAB 3 : Kayla

122 28 203
                                    

Beberapa menit sebelum kejadian menjijikan menimpaku, aku masih berpikir tentang apa yang dipikirkan oleh Aya-sang tukang ramal yang tersiar pada live salah satu kanal website yutub yang kugunakan, membuat ruminasi di dalam pikiran masih disibukkan dengan kemungkinan-kemungkinan terjadi kepadaku.

Sekarang jam sudah menunjukkan 16:30 WIB, di mana yang katanya ada cowok ganteng yang akan menjadi jodohku? Enggak mungkin. Aya mungkin sedang ngelindur dan merancau tidak jelas, toh enggak bakal mungkin jodoh akan datang dengan tangan-tangan ramal yang tidak jelas itu.

Hah, lihat. Aku jadi berharap kepada kemungkinan yang konyol seperti sekarang. Sudahlah, aku capek. Aku ingin mendengarkan lagu saja.

Kusumpalkan telingaku dengan airphone lalu aku memainkan beberapa lagu acak yang ada di playlist ponselku. Di dalam lagu yang kudengarkan, aku menenggelamkan diri dalam ingatan di masa lalu-lebih tepatnya, kenanganku tentang masa SMA.

Perihal pertemananku semasa SMA yang aku rindukan-seperti Safira, Tamara, Beatrice, Laila, Bintan, dan Deborah (meski aku sering bertemu dengan Deborah karena dia satu kantor denganku). Aku rindu dengan Safira yang anggota PMR hingga sekarang kudengar dia menjadi dokter umum, Tamara sudah sukses bekerja di hotel yang dia idamkan, Beatrice yang makin tenar akibat dedikasinya dengan makanan alias dia menjadi Food Vlogger tenar beberapa tahun belakangan, Laila yang menjadi penulis ternama, dan Bintan, perempuan misterius yang aku tidak menduga dia telah menjadi istri seorang konglomerat akibat perjodohan dari orang tuanya.

Deborah? Dia dari dahulu tidak berubah, seorang pekerja keras dan pengertian-terlebih lagi ketika aku curhat akibat tingah Bu Meike yang sebagai contohnya sikapnya membuatku gondok beberapa waktu lalu. Terlebih semasa kami wisuda SMA yang mengukir kenangan indah.

"Kay, kita semua bakal kangen lo! Hati-hati di Cambridge! Di sana banyak bule ganteng!" pekik Safira yang mendekapku. Ucapan Safira yang tidak disangka-sangka, membuat kami tertawa dengan serentak, lalu disusul dengan celotehan Tamara yang merespons bercandaan Safira.

"Ngaco lo, Fir! yang ada, dia mah belajar yang pinter! Lo juga keterima di Fakultas Kesehatan di universitas negeri juga, hih! Bikin ngiri aja lo, Fir!" balas Tamara dengan tertawa.

Kami pun tertawa. Namun di dalam benakku, ada yang pikiran yang mengganjal mengenai mereka, apakah mereka akan benar-benar merindukanku?

"Guys, kalau gue sampai di Cambridge, kalian jangan putus kontak ya, please," pintaku dengan memohon kepada mereka.

"Tentu, justru gue yang seharusnya bilang begitu ke lo!" jelas Deborah dangan menepukkan buku wisuda ke bahuku. dari beberapa percakapan terlalui, aku sadari Deborah lah yang paling pengertian di antara semuanya.

Hingga ketika aku melamar kerja sebagai dosen di salah satu kampus swasta di Jakarta, aku bersyukur bisa bertemu kembali oleh Deborah yang memang sangat berubah yang image nya dulu perempuan yang tomboi, sekarang menjadi elegan namun sikapnya tidak pernah berubah.

Hingga percakapanku dengan Deborah tetap hangat dan menyenangkan. Sampai Deborah menyebutkan, bahwa memang di tempat aku bekerja akan selalu ada yang menyikut satu sama lain-itu yang kurasakan sekarang. Aku menyadari bahwa banyak dosen yang tidak tetap di fakultas ini sangat banyak yang menyikut demi mendapatkan status pekerjaan menjadi "Dosen Tetap." Itu lah yang kuhindari, aku paling malas dengan urusan naik jenjang kepangkatan.

Hingga aku berhenti dari lamunanku, hingga suara pemberitahuan dari siaran pengeras suara yang berada di Peron. "Stasiun berikutnya, Stasiun Tanah Abang, pintu peron akan dibuka dari arah kanan kereta. Pastikan tidak ada yang tertinggal atau tertukar, selanjutnya Stasiun Tanah Abang," terang petugas melalui pengeras suara.

TRANSIT!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora