Bab 14 : Adam

27 8 11
                                    

Pikiranku kini sudah amat sangat kacau, apa lagi diamnya kami sepanjang jalan membuatku terasa sedikit canggung. Aku hanya berharap, Kayla tidak membenci dan menjauhi diriku setelah ini.

Suara hiruk pikuk jalanan tidak kalah riuhnya dengan suara yang ada di dalam benakku, satu keputusan bodoh yang membuatku sedikit menyesal—membuat keputusan secara impulsif karena looks perempuan di sampingmu itu cukup sinting.

Tetapi entah mengapa aku cukup terkejut dengan keputusan Kayla yang justru setuju dengan makan di pinggir jalan, padahal perempuan di Ibu kota sering kali memilih makan di Kafe mahal, atau restoran berbintang lima untuk memenuhi keinginan mereka. Cukup unik memang, perempuan seperti dia.

"Adam?" tanya Kayla yang menyadarkanku ke situasi sekarang, dia duduk di sampingku dengan memilih aneka sate yang tersedia di hadapan kami.

"Ya, Kay? Kenapa?" sahutku.

"Anu, kamu enggak milih makanan?" balas Kayla.

Tuhan. Hampir saja keliatan mati gaya. Batinku dalam hati.

Sontak, aku pun segera memesan wedang jahe, dan beberapa nasi kucing beserta aneka lauknya. Sejujurnya, aku sangat bingung harus memulai perbincangan seperti apa. mau bercanda tapi takutnya sedang kurang mood karena efek berita kereta, tapi di sisi lain, aku ingin mengetahui lebih dalam tentang Kayla.

Setelah keheningan berlalu, aku memperhatikan Kayla berdiam diri seperti mematung melihat kucing beserta anakan kucing di pinggir jalan.

"Ekhm, Kay. Lo liatin kucingnya kayak serius banget, ada apa memang?" tanyaku untuk membuka dialog kembali, Kayla pun menoleh ke arahku dan menyunggingkan senyuman ke arahku.

"Oh, aku lihatin kucing itu karena aku suka kucing, Dam. Kebetulan di rumah juga ngerawat kucing," terangnya dengan melirik kembali ke arah kucing.

"Oh, kucing jenis apa?" tanyaku lagi. Sejujurnya, aku paling tidak menyukai basa-basi seperti ini, terutama dengan sosok perempuan yang membuatku tertarik seperti dia.

God damn, I hate this little chat!

"Jenis persian long hair, Dam. Lihat deh, lucu kan dia?" tanyanya dengan menyodorkan ponsel ke arahku. Memang kuakui, kucing miliknya imut—tetapi di sisi lain aku juga ingin menggodanya, terus menerus.

"Iya, kucingnya lucu. But you're definitely cuter than your pet for me," ucapku dengan menatapnya—tetapi entah kenapa suara nyaring dari Adit mengganggu romantisme kami berdua.

"Halah, pat pet pat pet, nih satenya sudah jadi!" celetuk Adit yang menyuguhkan pesanan kami yang sudah jadi. Kayla pun menahan tawa berkat reaksi Adit yang diluar dugaanku.

"Mbak, maaf nih, Adam tuh baru belajar modusin orang, jadi ya gitu lah," ucap Adit yang menggosokan gelas dan menatanya di gerobaknya. Kayla yang mendengarnya pun tertawa pelan melihatku yang sedikit malu.

"Dit, jangan buka aib dong, malu gue!" selaku yang menutup sebelah wajahku. Kayla pun yang hendak menyeruput susu jahe pun menimpali perbincagan Adit, "wah, berarti masnya ini udah suhu banget ya?" canda Kayla.

"Jangan salah, Mbak. Dari dia rambutnya macam oppa-oppa, sampai rambutnya segondrong Rapunzel saya tuh gurunya, lo!" ujarnya berbangga diri.

"Rapunzel tuh enggak gondong! Panjang dari sananya, Bos!" ledekku pelan. Tak sengaja, aku pun melihat Kayla melirikku dengan tersenyum tipis.

"Aku kebayang deh, kalau Adam rambutnya dipotong pasti keliatan fresh," ucap Kayla sambil tersenyum kepadaku.

Aku tidak tahu apa ini terdengar sebagai pujian, atau sebagai bentuk perhatian kecil kepadaku. Walau aneh, karena kedekatan kami sekadar orang yang baru saja datang dari kehidupanku, aku seakan mendapatkan "angin segar". Dalam kehidupan asmara dari sekian tahun aku melajang.

TRANSIT!Where stories live. Discover now