BAB 10: Adam

39 10 64
                                    

"Sebentar deh, Dam, kayaknya kamu belum ceritakan tentang arisan keluarga ke aku. kalau boleh tahu, kenapa memangnya?" tanya Kayla yang terheran-heran. Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Kayla membuatku terdiam seketika.

Aku berpikir kembali, apakah pantas aku membicarakan masalah pribadi ke orang yang benar-benar baru kamu kenal beberapa waktu lalu seperti Kayla? Bukankah sangat tidak wajar? Tetapi sungguh ajaib sekali orang ini. Curhat dengan gampangnya kepada orang yang baru saja bertemu, aku akui keberanian Kayla.

"Ah, itu ...." Aku menghela napas berat, dan masih berpikir ulang tentang kronologi awal—but fuck it. Masa bodoh dengan itu semua.

"Kalau enggak mau dijawab juga enggak apa kok, aku enggak maksa," balas Kayla dengan tersenyum padaku.

"Enggak, gue enggak masalah dengan pertanyaan lo. Tetapi gue sendiri enggak tahu dari mana gue bisa ceritain ke lo, Kay," jawabku dengan menatap langit-langit stasiun.

"Oh, begitu. Kalau mau, nanti aja bahasnya," ujar Kayla yang menatapku dengan sedikit kekecewaan di wajahnya. Ah, di sisi lain pula melihat perempuan sedih membuatku makin tersiksa.

"Oke, oke gue akan bahas sekarang tapi lo jangan kaget ya," ungkapku dengan membenarkan posisi duduk. Dan aku mau tidak mau membuka kenangan menyebalkan kembali lebih tepatnya tentang keresahanku yang kualami beberapa bulan lampau.

Saat sepupuku, Riza—yang jauh lebih muda dariku, menikah dengan pasangannya saat itu. Aku pun sejujurnya merasa senang, tapi di sisi lain, ada hal yang selalu membuatku gerah sesaat di hari pernikahan itu tiba.

Belum lagi masalah antara kamu yang dituakan di keluargamu, dan menjadi perbandingan antara saudara-saudari yang lebih muda darimu.

"Eh, Nak Adam, apa kabar?" tanya tante yang mendekatiku—aku paham sekali dengan nenek dan tante yang selalu membandingku dengan saudaraku yang lain. Dari tahun ke tahun akan selalu seperti itu, sampai kuhapal sosok mereka berdua yang membuatku serta ibuku yang membuatku gerah bukan main.

Belum aku menjawab, pertanyaan dari nenek pun menyasar bagai peluru yang menghujam diriku saat itu. "Kapan kamu menikah, Adam?" tanya nenek yang tanpa permisi bertanya kepadaku saat itu. Sejujurnya aku sangat tidak menyukai pertanyaan itu. Sangat amat menyebalkan.

"Kapan-kapan, hehe. Aku lagi pengin sendiri aja nih," balasku dengan menahan emosiku yang sangat tidak ingin merusak suasana hari ini. untung saja pula mereka lebih tua dariku, andaipun tidak sudah aku marahi abis-abisan saat itu juga.

"Ya ampun, kasian banget kamu. Ganteng-ganteng kamu masih belum ada gandengan, mau ibu kenalin enggak ke teman kenalan ibu? cantik loh dia, orang staff di DPR pula," nyinyir tanteku yang ada dihadapanku.

"Tuh, Nak Adam, sudah banyak yang ngantre loh sama kamu," tawa nenek yang juga menepuk-nepuk badanku.

Frankly speaking, aku enggak butuh dengan kenalanmu, Tan. Aku enggak tertarik dengan nyinyiranmu dan enggak tertarik pula dengan segala upayamu untuk kenalkan aku dengan mereka. Buat apa dijodohkan tetapi enggak bisa menyembuhkan lukaku di masa lalu?

Terlebih lagi, aku masih belum bisa memaafkan Naura—mantanku yang memutuskanku dengan alasan konyol. Memilih cowok baru, dengan alasan "Ini hanyalah kesalahan." Alasan yang sungguh konyol untuk diucap pada kata perpisahan—tidak, terciduk pada perselingkuhan. Lebih tepatnya, terciduk berciuman dengan pria lain di gudang aula kampus? Yang benar saja.

Masih terekam jelas bagaimana dia mencampakkanku dengan pria lain—yang bahkan aku tahu, pria itu adalah kakak tingkatku. Michael. Meski aku tidak tahu jelas seberapa kuat usaha Michael menggaet Naura, tetapi sudah sangat jelas bahwa tidak ada akhir yang baik untuk sebuah perselingkuhan? Belum lagi kecurigaanku setelah hubungan kami berakhir, mereka justru menggembar-gemborkan 'couple goals.' Di media sosial. Dasar sinting.

TRANSIT!Where stories live. Discover now