BAB 11: Kayla

53 11 72
                                    

Egoku tidak mampu membendungku untuk kelepasan berucap pada Adam—hingga aku tidak menyadari rancauan gila yang kusebutkan saat aku bertemu dengan Adam. akan tetapi di sisi lain, aku sungguh lancang, beraninya aku bertanya tentang masa lalu orang yang baru saja kutemui.

Di sisi lain, Adam yang tampan dan menggodaku beberapa waktu lalu, rupanya dia menyimpan luka lama. Meski aku membenci orang yang belum menyelesaikan masa lalunya, hingga aku merasa kasihan dengan Adam.

Sudah masuk akal, bila Adam meng-iyakan tawaran gilaku walau itu aku tidak ada consent untuk serius menerima tawaran dari Adam. lelaki itu juga punya alasan kuat untuk mengiyakan—tetapi seketika seisi kepalaku menerka-nerka dengan mantannya. Apakah dia juga satu alumni almamater dari universitas itu? Lalu, tunggu ... kuingat lagi, aku harus jadi pasangan palsu untuk di arisan keluarganya?

Astaga Tuhan, bagaimana ini? Tidak, tidak. Aku harus berpikir secara matang-matang. Aku tidak boleh gegabah!

Di luar itu, meski saat ini aku sadar di dalam gerbong kereta yang kutumpangi lumayan cukup padat. Aku memandangi telapak tanganku dan memikirkan reka adegan yang kulakukan.

"Maaf, aku enggak sengaja!"

Ya Tuhan, betapa memalukannya ketika mengingat kejadian di mini market beberapa jam lalu, kulit muka terasa menghangat dan kulirik dari pantulan kaca pintu gerbong yang tertutup—bahwa merah merona sudah wajahku kali ini.

Aku merasa, sepertinya aku tidak ada bedanya dengan cari perhatian dengan kelakuanku seperti badut di hadapan Adam atau memang aku sangat kikuk di depan Adam, atau ... I'm getting crush on him too much?

Tidak Kayla, kamu jangan cepat menyukai seseorang! Apalagi aku belum mengetahui tentang dia seratus persen!

***

Setelah sesampainya di kantor, aku memasuki meja kerjaku. Ketika hendak menaruh tasku, kulihat Bu Meike sudah mengomel pagi-pagi di depan Astari. Tidak biasa aku melihat Bu Meike mengomel hingga menyumpah serapahi Astari.

"Kamu kalau kerja yang benar, Dik! Masa' laporan begini kamu enggak menyantumkan sumber? Dan sudah mana hasil plagiasi laporanmu itu tinggi! Lalu bagaimana kamu bisa bersaing dengan Kayla yang kerjaannya rapi dan detail? Duh, kalau seperti ini kamu bisa mempermalukan institusi kampus!" pekik Bu Meike yang tengah melemparkan kertas di hadapannya.

Kuintip lagi, Astari hanya bereaksi menunduk dan terdiam—tunggu, kulihat sekilas wajahnya yang tersenyum menyeringai. Aku tidak tahu apa yang akan direncanakan oleh Astari, tetapi aku menduga bahwa dia akan melakukan hal kejam kepada Bu Meike.

"Saya enggak mau tahu, dan saya tidak peduli backingan kamu siapa di sini, tetapi kerjakan laporanmu itu dengan benar, paham?" tegas Bu Meike.

Sungguh, aku tidak bisa menafikan bahwa diriku begitu puas melihat kejadian Astari mendapatkan omelan pedas dari Bu Meike. Tetapi di samping itu, aku merasa curiga dengan tabiat busuk yang akan dilakukan oleh Astari.

Ah, sudahlah. Jangan mencampuri masalah perempuan-perempuan menyebalkan di pagi hari. Toh, itu masalah mereka, bukan diriku.

Kuhela napas panjang, dan tanpa basa-basi aku langsung memerika hasil pekerjaan mahasiswa dari database yang dikumpulkan beberapa hari lalu. Kunyalakan komputer dan kini aku berkutat untuk membuka sistem portal mahasiswa.

Belum lama aku membuka data, rupanya aku telah dipanggil oleh Bu Meike untuk masuk ke dalam ruangannya. Dengan cepat aku beranjak pergi ke ruangannya, lalu berpapasan dengan Astari yang keluar dari ruangan.

Dia menatap sinis kepadaku dengan membawa banyak kertas di tangan kanannya, aku tidak tahu persis yang membuatnya seolah marah kepadaku, tetapi itu sangat amat kekanak-kanakan bila dia marah tidak tahu tempat. Toh, di sini tempat kerja yang di penuhi orang dewasa bukan taman kanak-kanak yang dipenuhi bocah tantrum bila mainannya direbut orang.

TRANSIT!Where stories live. Discover now