dwi ✧

985 162 65
                                    

The Grim Reaper-!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

The Grim Reaper-!

Malaikat maut itu berhasil tenang setelah terancam menjadi hulk hijau yang akan membasmi Halilintar.

Dia duduk di atas tong sampah yang tertutup, manakala Halilintar menyender di tiang listrik.

Netra mereka melekat pada murid-murid yang berhamburan ke luar sekolah saat senja itu.

"Yang mana adik mu?" Seloroh Taufan, kepalanya pusing kepala barbie sebab banyak nya gerombolan anak-anak manusia di sekitar nya.

Mereka berdua memang tidak terlihat oleh mata manusia. Jadi, tidak apa-apa jika ingin melakukan hal aneh. "Hali~ kepala ku pusing." Kata Taufan membuka pembicaraan. Menjadi manusia itu rentan terkena sakit, ya?

Roh merah itu memutar bola mata nya jengah. "Terus? Aku harus bilang wow, begitu?" Balas Halilintar seolah dia melupakan kejadian yang hampir melenyapkan jiwa nya.

"Bukan~ belikan aku obat manusia. Aku belum pernah mencicipinya!"

"Dengan wujud ku yang seperti ini? Kamu ingin aku menggegerkan satu kota karena bungkus obat yang melayang!?" Hardik Halilintar geram. Berulangkali dia menghela nafas dengan tingkah absurd malaikat maut itu.

Yang di hardik hanya kedip kedip mata sok innocent.

"Kalau begitu, beritahu aku nama obat manusia itu. Aku akan membelinya sendiri." Oh, Taufan ternyata sudah besar. Sekarang dia jadi mandiri.

"Sianida. belilah di apotek di situ."

Sungguh sesat informasi yang diberikan Halilintar. Tahukah engkau bahwa sianida adalah racun mematikan yang apabila di konsumsi dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kematian dalam jangka waktu satu menit?!

Oh, tapi Taufan kebal, bukan? Mari kita uji kekebalan nya untuk tahu apa kelemahan Taufan.

Taufan mengangguk girang. Dia membuat wujud nya mampu di lihat manusia. Ketika dia berjalan di tengah gerombolan bocil-bocil, sontak ada sorak sorak penuh nada manja.

Dasar bocil, masih kecil sudah tahu apa itu mahluk tampan.

Kaki jenjang Taufan menapak di apotek yang di maksud. "Pak, beli sianida lima bungkus."

Si penjaga toko langsung jantungan. Untung tidak keburu meninggal. "B-buat apa, mas?" Tanya penjaga toko itu khawatir.

"Buat sakit kepala, pak."

Taufan dengan seluruh cahaya terang benderang di sekitar nya berhasil membuat penjaga toko terhipnotis. Jadi pria tua itu menyerahkan sianida sebanyak lima bungkus.

Kembali menuju tempat semula-- tong sampah. Disana ada Halilintar yang masih setia memandang ke arah sekolah, mencari-cari sosok adik yang di maksud.

Ketika netra mereka bertemu pandang. Halilintar memasang tatapan putus asa. "Bodoh." Lirih Halilintar tanpa sebarang nada.

Malaikat maut dalam mode terlihat itu mengendikkan bahu. Dia berjongkok di atas tong sampah-- membuat anak-anak serta tukang sayur yang lewat melongo heran.

Lima bungkus kecil berisi serbuk putih di buka langsung. Taufan menenggak serbuk itu hingga tandas-- menunggu reaksi akibat obat manusia itu.

Halilintar nampak berharap, Taufan akan keracunan lalu mati dengan mengenaskan. Oh, Hali, apa kamu segitu dendam nya dengan Taufan?

"Hm . . . rasanya kaya ada manis-manis nya gitu."

Taufan malah berakhir mengiklankan produk racun itu. Halilintar bisa merasakan, sumbu di dirinya hampir habis dan akan segera meledak.

BRAKK

Perhatian kedua nya teralihkan oleh sosok remaja yang tergelincir di jalanan licin. Seragam nya nampak kusut, surai yang ditutupi topi biru itu nampak terlalu turun, dan memar yang tercipta di lutut nya.

Taufan sebagai lelaki sejati langsung meloncat ala ala kamen rider. Dia berlari meninggalkan Halilintar yang menatap datar dari sana.

"Hey, adik. Kamu tidak apa-apa?" Taufan mengulurkan tangan. Senyum manis mematri di wajah dengan aura mempesona yang cetar membahana.

Terkejut. Remaja yang di tolong itu sontak berdiri sendiri tanpa mengindahkan Taufan.

"Ah, lutut mu terluka . . . Biar aku obati." Malaikat maut dalam penyamaran itu berjongkok lalu menempelkan sebuah plester yang baru saja dia beli dengan kecepatan cahaya.

Si remaja panik bukan main. Dia menggelengkan kedua tangan nya tanpa bicara sepatah kata.

Kemudian remaja itu menggerakkan kedua tangannya. Membentuk sebuah kata menjadi kalimat dari gerakan itu. "Tidak apa-apa. Terima kasih."

Taufan mengernyit bingung. Apa . . . remaja ini bisu?

Malaikat maut itu menelisik lebih jauh. Sebuah alat pendengar menempel di kedua telinga nya. Itu cukup menjelaskan semuanya, jadi Taufan hanya tersenyum simpul. "Sama-sama."

"K-kakak bisa bahasa isyarat!?"

Hanya anggukan dan itu mampu membuat remaja dengan iris biru aquamarine bersemangat. "Begitulah. Aku pernah belajar ketika kecil."

Si remaja biru itu terlihat ingin bicara lagi, tetapi ketika dia melihat jam tangan nya, dia kembali panik. "Sampai jumpa lagi, kakak. Aku harus pergi."

"Baiklah. Namaku Taufan, kamu?"

"Ice."

Konversasi yang singkat dan remaja biru itu telah menghilang. Taufan mendekati Halilintar yang hanya menatap sedari tadi,

"Dia adik ku."

"A-apa!?"

Halilintar mengulang kembali. Sudut bibir nya tak membentuk lengkungan manapun-- hanya datar. "Dia adik ku."

Taufan memilih untuk tidak banyak merespon ataupun bertanya. Apakah alasan roh merah ini menetap di bumi adalah karena adik nya yang menderita disabilitas?

"Aku tidak bisa pergi. Ada sesuatu yang harus kulakukan di sini." Tukas Halilintar. Dia menatap bekas kepergian adik kecil nya dalam diam.

Begitu banyak roh yang Taufan tolong, semakin banyak pengalaman yang akan Taufan dengar.

Halilintar adala salah satu nya. Puncak kepala Halilintar di usap nya pelan, "Baiklah. Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"

_________________________________________

The Grim Reaper | TauHali ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang